Selasa 07 Mar 2017 06:00 WIB

Malala: Oase di Bumi Muslim yang Tandus (I)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Empat tahun lebih sudah berlalu, saat drama maut itu ditimpakan atas seorang bocah putri yang kemudian telah mengentak kesadaran nurani manusia di bumi ini sebagai tanda keprihatinan dan kemarahan yang mendalam. Ingat Malala atau nama lengkapnya Malala Yousafzai (12 Juli 1997- )? Tentu ingat teror yang berusaha membunuhnya pada 9 Oktober 2012, saat menumpang bus pulang dari sekolah bersama beberapa teman sebayanya. Usianya baru 15 tahun.

Mengapa harus dibunuh? Karena kritik keras gadis ini terhadap rezim Taliban yang ganas yang daerah pengaruhnya juga meluas sampai ke Pakistan, tanah kelahiran Malala. Ketika orang tuanya sudah berpikir untuk menyiapkan makamnya di Distrik Swat, ternyata Tuhan melalui tangan dokter di Pakistan dan di Birmingham (Inggris) berkehendak lain.

Bocah ini diselamatkan sekalipun peluru telah menembus pelipis kiri atas di bagian kepalanya dan peluru itu kemudian bersarang di punggungnya. Sempat koma beberapa hari, tetapi tanda-tanda kehidupan belum hilang, kata dokter yang menanganinya.

Segera dibawa ke rumah sakit dalam upaya menyelamatkan jiwanya. Bocah perempuan cerdas ini selama beberapa tahun pascatragedi itu menjadi ikon dunia. Namanya menjadi sorotan dalam ratusan media di seluruh jagat.

Koran Jerman, Deutsche Welle, bulan Januari 2013 menobatkan Malala sebagai "anak usia belasan tahun yang paling masyhur di dunia". Dia berpidato di PBB, Juli 2013, berpidato di kampus Universitas Harvard, September pada tahun yang sama, meraih hadiah Nobel pada 2014, usia termuda dalam sejarah penganugerahan hadiah bergengsi ini. Masih puluhan hadiah lain yang meluncur dari berbagai negara.

Saya tahu, tuan dan puan pasti telah mengikuti perjalanan hidup bocah ini yang kemudian meneruskan sekolahnya di Birmingham, didampingi kedua orang tuanya, Ziauddin Yousafzai dan Tor Pekai Youfsafzai. Tetapi, “Resonansi” ini akan menyoroti sisi-sisi lain dari musuh Taliban dan terorisme ini yang mungkin belum banyak terkuak bagi publik di Indonesia.

Melalui Youtube, saya dapat mendengar pidatonya di PBB dan pidatonya di Oslo saat menerima hadiah Nobel pada 10 Desember 2014. Bocah ini memang luar biasa, tangkas sekali dalam menyampaikan pidatonya yang hanya sesekali melihat teks.

Berkali-kali tepukan tangan panjang bergema selama pidato itu disampaikan. Kedua orang tuanya yang hadir terlihat berkali-kali menyeka air mata bahagianya karena putrinya yang pernah bergumul dengan maut itu kini punya tempat terhormat di mata publik dunia dalam usia yang sangat belia.

Secara tidak langsung, Taliban juga "berjasa" terhadap bocah aktivis pendidikan ini. Sekiranya tidak ditembak, dunia tentu tidak sampai gempar dibuatnya. Malala menyerukan bahwa pendidikan adalah hak asasi anak-anak, perempuan atau laki-laki. Bagi Taliban, sekolah-sekolah perempuan sempat ditutup karena katanya di sana "virus kafir" akan meracuni otak dan hati siswa. Malala melakukan protes keras terhadap pendapat primitif ini.

Oleh sebab itu, Mulla Fazullah, tokoh spiritual Taliban di Distrik Swat, mengeluarkan fatwa agar nyawa Malala segera dihabisi, tidak peduli seorang bocah yang memang punya filsafat: "Pen is mightier than sword" (pena lebih dahsyat dari pedang).

Bagi saya, Malala adalah sebuah oase yang keteduhan ketika bagian-bagian bumi Muslim sudah tandus, tidak lagi aman dan nyaman buat tempat tinggal.

Oase ini dapat jadi sumber kebanggaan yang melahirkan optimisme bagi hari depan Muslim sejagat dengan sama-sama menyatakan bahwa "terorisme adalah musuh peradaban yang harus dilenyapkan."

Malala dengan lembaga pendidikan yang dibentuknya ingin mendidik semua anak usia sekolah, termasuk anak-anak teroris tanpa ada rasa benci dan dendam. Kerja serupa juga sedang dilakukan oleh BNPT di Indonesia di bawah pimpinan Komjen Suhardi Alius.

Sementara, Pakistan, negeri asal Malala, di mana-mana bom bunuh diri masih saja diledakkan, teroris gentayangan, dan Malala adalah salah seorang korbannya, tetapi Tuhan belum membiarnya berpisah dari dunia ini. Malala adalah juga saksi hidup bahwa Islam tidak identik dengan terorisme, sebagaimana pihak Barat masih saja melontarkan tuduhan nista yang berbahaya ini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement