REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Beginilah kalau Grand Syaikh al-Azhar Dr Ahmad Thayyib marah. Namun, sebagai pemimpin tertinggi sebuah lembaga yang menjadi referensi intelektual dan spiritual umat Islam, kemarahannya sangat terukur. Ia tidak sembarang marah pada yang remeh-temeh. Ia marah pada hal-hal prinsipil, fundamental, dan hal-hal yang tidak bisa ditawar.
Hal prinsipil, fundamental, dan tidak bisa ditawar itu apa lagi kalau bukan keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenai Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Sebelumnya, pemimpin lembaga Islam pengusung washatiyah (moderasi Islam) ini juga pernah marah besar kepada kelompok-kelompok seperti ISIS yang mudah mengafirkan orang lain.
Kelompok-kelompok ini ia sebut sebagai tidak ada hubungannya dengan Islam dan justru memperburuk citra Islam dan umat Islam. Sebaliknya, ia pun marah terhadap Islamofobia, yaitu orang-orang atau kelompok yang menjelek-jelekkan Islam dan Muslim.
Terkait keputusan Trump, kemarahan Syekh al-Azhar ditunjukkan dengan menolak menemui Wapres AS Mike Pence. Penolakan yang kemudian diikuti Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Pence sedianya akan berkunjung ke Kairo, Ramallah, dan Tel Aviv pascakeputusan Trump tentang Yerusalem. Sikap Syekh al-Azhar ini ternyata membuat Gedung Putih belingsatan dan membatalkan kunjungan Pence ke Kairo dan Ramallah.
Langkah berikutnya setelah ogah menemui si Pence, Syekh al-Azhar kemudian menyelenggarakan konferensi internasional untuk menggalang kekuatan dan persatuan melawan keputusan Trump. Konferensi diselenggarakan al-Azhar bekerja sama dengan Majlis al-Hukama al-Muslimin, berlangsung selama dua hari pekan lalu (17-18/1) di Kairo, bertema Konferensi al-Azhar Bela al-Quds as-Syarif.
Menurut Syekh Thayyib yang juga ketua Majlis al-Hukama, konferensi ini diselenggarakan untuk mendentangkan lonceng tanda bahaya dan menyalakan api yang mungkin telah padam. Api kekuatan dan tekad melawan sikap sewenang-wenang Zionis Israel yang brutal di abad ke-21 ini. "(Konferensi) ini diadakan karena kompleksitas kebijakan yang zalim dan keputusan tak bertanggung jawab," ujarnya saat membuka konferensi, merujuk pada keputusan Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Selain Presiden Palestina, para tokoh dari 86 negara hadir di konferensi. Dari pejabat tinggi, politisi, akademisi, hingga LSM. Pun para pemimpin berbagai agama, ada dari Islam, Kristen, bahkan tokoh Yahudi antizionisme menjadi pembicara. Indonesia diwakili Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Ketua Organisasi Internasional Alumni al-Azhar Cabang Indonesia Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi yang juga gubernur NTB.
Selama dua hari konferensi, Palestina dan Yerusalem—atau al-Quds as-Syarif menurut literatur Islam—dikupas tuntas. Dari perspektif sejarah, akademis, politis, hukum, hingga perspektif agama—Islam, Kristen, dan Yahudi. Hasilnya, 13 butir tertuang dalam Deklarasi al-Azhar Bela al-Quds. Isinya antara lain penegasan identitas kearaban al-Quds dan statusnya sebagai tempat suci yang sakral bagi umat Islam dan Kristen sepanjang sejarah. Juga menggarisbawahi al-Quds sebagai ibu kota abadi bagi Negara Palestina merdeka.
Selanjutnya, Deklarasi al-Azhar tegas menolak keputusan Trump dan menganggapnya tidak lebih dari sekadar tinta di atas kertas. Keputusan Trump dinilai telah kehilangan legitimasi historis, hukum, moral, dan tidak sesuai dengan berbagai resolusi PBB.
Syekh al-Azhar yang bertutur kata terstruktur dan santun ini optimistis al-Quds akan bisa dibebaskan dari penjajahan Zionis. “Satu hal yang saya yakini,” katanya, “setiap penjajah niscaya akan musnah, cepat atau lambat.” Meskipun, lanjutnya, hari ini hal itu terlihat seperti mustahil, waktu akan terus bergulir dan akhir dari penjajah dan nasib orang yang zalim sudah dapat dipastikan.
Ia pun menunjuk Perang Salib, ketika bangsa-bangsa Eropa terpaksa hengkang setelah 200 tahun menduduki Palestina. Juga nasib negara-negara kolonial Eropa yang membanggakan dirinya sebagai ‘matahari tidak akan terbenam di wilayah-wilayah jajahan’. Pun nasib penguasa apartheid di Afrika Selatan.
Kebinasaan, ujar Syekh al-Azhar, adalah nasib akhir dari orang-orang jahat, juga nasib setiap kekuatan yang digunakan untuk menguasai orang lain. Kini wilayah-wilayah bekas jajahan di Asia dan Afrika, dari Maroko, Aljazair, Tunisia, Mesir, Suriah, Irak, India, hingga Indonesia, telah berhasil merdeka. Juga nasib rakyat di Afrika Selatan yang telah terbebas dari politik apartheid.
Menyadari besarnya makar kaum Zionis dan antek-anteknya, menurut Syekh al-Azhar, ini sudah tidak relevan bila dihadapi dengan orasi dan slogan-slogan seperti selama ini. Ia pun mengusulkan dua agenda aksi—yang kemudian dijadikan butir deklarasi—yang langsung menyentuh masyarakat. Pertama, mengembalikan kesadaran tentang pentingnya permasalahan Palestina dan al-Quds kepada masyarakat, terutama generasi muda. Caranya antara lain dengan menjadikan kedua hal tadi—sejarah dan status Palestina serta al-Quds—sebagai kurikulum di semua jenjang pendidikan, dari TK hingga perguruan tinggi.
Kenyataan pahit, tutur Syekh al-Azhar, ketika buku-buku pelajaran dan kurikulum di semua jenjang pendidikan tidak menyentuh, apalagi memberi kesadaran, tentang bahayanya gerakan zionisme kepada miliaran pemuda Islam dan Kristen. Hal ini, lanjutnya, berbanding terbalik dengan para pemuda Zionis Yahudi. Mereka sejak kecil sudah diberi pendidikan dalam bentuk pelajaran, lagu-lagu, dan doa yang membentuk karakter sebagai Zionis. Ciri-cirinya antara lain fanatisme terhadap ras Yahudi dan kebencian terhadap segala hal terkait dengan Arab dan Muslim.
Kedua, menjadikan tahun 2018 sebagai Tahun (Pembebasan) al-Quds. Hal ini, menurut Syekh al-Azhar, adalah wujud penolakan terhadap keputusan Presiden Trump dan sekaligus dukungan untuk perjuangan bangsa Palestina dan pembebasan al-Quds. Tahun al-Quds itu bisa diisi dengan berbagai aktivitas. Dari yang bersifat lokal berupa diskusi dan sarasehan di kampus hingga yang bertaraf internasional dalam bentuk seminar-seminar. Dari budaya, politik, hingga pengajian di masjid.
Menurut Syekh al-Azhar, masyarakat tidak boleh ragu untuk menyikapi masalah al-Quds dari perspektif agama, baik Islam maupun Kristen. Ia justru heran apabila dimensi agama disisihkan dalam pendekatan masalah Palestina dan al-Quds. Sebab, lanjutnya, gerakan kaum Zionis Israel untuk menjajah, merampas tanah, dan bahkan merusak Masjid al-Aqsha murni memanfaatkan agama. Mereka bahkan sudah berani mempermainkan teks-teks dan mitos agama untuk membenarkan permusuhan, menghalalkan darah, kehormatan, dan harta benda manusia.
Selanjutnya, pemimpin tertinggi al-Azhar itu pun menyerukan agar semua butir deklarasi dapat diadopsi negara-negara Islam, Liga Arab, Organisasi Kerja Sama Islam, instansi-instansi keagamaan, universitas-universitas Arab dan Islam, lembaga-lembaga masyarakat sipil, dan seterusnya.
Pihak al-Azhar sendiri telah siap menjadikan Deklarasi al-Azhar sebagai agenda aksi. Al-Azhar akan memaksimalkan segala perangkatnya, termasuk ratusan ribu alumninya yang tersebar di berbagai negara untuk menjalankan butir-butir Deklarasi. Al-Azhar juga telah menyiapkan materi kurikulum untuk sekolah-sekolah dan peruruan tinggi. Syekh Thayyib berharap babak baru pembebasan Yerusalem dan perjuangan kemerdekaan Palestina dapat dimulai dari mimbar al-Azhar.