Kamis 21 Mar 2019 13:11 WIB

Mungkin Pemilu Hanya untuk Orang yang Bisa Baca Tulis Saja

Tunaaksara dinilai tidak dipermudah untuk memberikan hak suaranya di Pemilu 2019

Red: Karta Raharja Ucu
Sejumlah penyelenggara Pemilu 2019 melakukan pencoblosan kertas suara di bilik suara saat simulasi pemungutan dan perhitungan suara pemilihan umum 2019 di Sumenep, Jawa Timur, Sabtu (16/3/2019).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas sortir dan pelipat kertas suara pilpres 2019 malakukan pekerjaannya di Gudang Logistik KPU Jakarta Pusat, Jakatra, Selasa (19/2).

Pemilih Tunaaksara

“Saya tidak bisa baca dan tulis. Jadi susah untuk memilih. Karena nanti sudah tak lagi pakai foto," ujar Uri mengeluh. Uri merupakan warga Komunitas Balay Juhu, Dayak Meratus di Kalimantan Selatan. Perempuan ini adalah satu di antara ribuan orang Dayak Meratus penyandang tuna aksara yang memiliki hak pilih namun bingung untuk memilih.

Kontroversi pemilih tuna aksara tak hanya terjadi pada Pemilu 2019. Sejak Pemilu 2009 memang belum ada regulasi yang mengatur pendamping memilih bagi pemilih penyandang tuna aksara. Seiring itu pula desain surat suara melulu tak menampilkan foto.

Ketiadaan regulasi ini tentu berimplikasi terhadap aksesibilitas pemilih tuna aksara dalam menyalurkan hak memilihnya. Pada Pemilu 2014 lalu misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kupang menolak pengajuan pendampingan memilih bagi pemilih penyandang tuna aksara (Surya Online Kupang, 2014).

Alasan penolakan itu didasari atas kekhawatiran terhadap pemilih penyandang tuna aksara yang dapat dipolitisir pihak tertentu untuk meraih suara dengan tidak sehat.

Pada pemilu kali ini, berbagai organisasi kepemiluan pun telah berusaha mendorong hadirnya regulasi yang menjamin aksesibilitas pemilih penyandang tuna aksara.

Beragam alternatif kebijakan telah ditawarkan kepada KPU diantaranya, pemilih tuna aksara dapat didampingi oleh keluarga atau petugas KPPS untuk memperkecil kemungkinan manipulasi suara. “Pemilih tuna aksara tidak diatur di dalam ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, KPU tak dapat memutuskan sesuatu yang tidak diatur di dalam ketentuan undang-undang. Gimana nanti opini publik yang berkembang jika KPU memutuskan itu," dalih Arief Budiman Ketua KPU RI.

Tindakan Diskresi

Demi menjaga agar pemilu berjalan jujur dan adil, berbagai ketentuan administratif untuk penggunaan hak pilih memang diperlukan. Tanpa batasan itu, potensi kecurangan akan sulit dikontrol.

Hanya saja, batasan administratif tidak boleh diterapkan secara berlebihan. Apalagi sampai menegasikan hak konstitusional warga negara. Ia harus diletakkan dalam kerangka yang seimbang antara upaya melayani kemudahan pemilih sebagai hak konstitusional dan kepentingan administrasi pemilu.

Dalih penolakan menjamin aksesibilitas pemilih penyandang tuna aksara karena ketiadaan regulasi adalah alasan yang tak masuk akal. Dalam konsep negara hukum dikenal asas freies ermessen atau tindakan diskresi yang artinya pejabat publik tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya”.

Pejabat publik diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan legalitas. Tindakan diskresi dapat diambil untuk merespon persoalan penting yang luput diakomodir dalam ketentuan regulasi. Dalam hal demikian, administrasi negara harus bertindak cepat, membuat penyelesaian. Namun keputusan yang diambil harus bisa dipertanggungjawabkan.

Sebetulnya KPU bisa saja menggunakan asas diskresi untuk meretas kebingungan pemilih penyandang tuna aksara dalam memilih. Sebab, ini adalah persoalan kemudahan pemilih untuk menyalurkan hak konstitusionalnya sebagai warga negara.

Tindakan diskresi yang diambil adalah memberikan affirmative action dalam bentuk mengeluarkan surat edaran agar pemilih penyandang tunaaksara dapat didampingi saat proses pemungutan suara berlangsung. Namun, hingga kini pemilih penyandang tuna aksara masih dibiarkan berada dalam situasi kebingungan, meski pemungutan suara pemilu 2019 semakin dekat. Persoalan ini telah berlangsung sepanjang satu dekade kebelakang tanpa ada penyelesaian.

Agaknya tak ada itikad baik KPU untuk menjamin aksesibilitas pemilih penyandang tuna aksara. Memikirkan opini publik yang berkembang tampaknya lebih penting dari pada menjamin hak konstitusional warga negara. “Mungkin pemilu hanya untuk orang yang bisa baca tulis saja," tutup Uri.

*) Magister Ilmu Politik UI dan Pegiat Aliansi Masyarakat Adat (AMAN).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement