Selasa 26 Aug 2014 12:00 WIB
siesta

Terbukanya Mata Muslimah

Red:

Muslim di Indonesia belum banyak yang menerapkan gaya hidup halal. Kebanyakan orang masih menganggap semua makanan halal kecuali yang mengandung babi dan alkohol. Padahal, di samping itu juga ada proses penyiapan makanan yang harus diperhatikan. "Masyarakat Muslim semestinya lebih cerdas daripada produsen agar tidak salah langkah memilih makanan," kata Aisha Maharanie, pendiri komunitas Halal Corner.

Sedikit saja barang haram masuk ke tubuh dan mengalir dalam darah, tentunya itu tidak akan membawa keberkahan dalam kehidupan seseorang. Aisha berpendapat, untuk menjadikan gaya hidup halal sebagai bagian dari prinsip keluarga Muslim, peran seorang ibu sangat diperlukan. "Muslimah harus bisa membimbing keluarganya," ujar Aisha.

Lewat komunitasnya, Aisha mencoba merangkul masyarakat, terutama Muslimah, agar peduli dan berhijrah untuk hidup halal. Kampanye yang Aisha gulirkan tak langsung mendapat apresiasi dari masyarakat. Banyak juga yang mencibirnya dan menganggap Aisha terlalu keras dalam bersikap. "Itu kan hanya sekadar makanan," komentar mereka, seperti ditirukan Aisha.

 

 

 

 

 

 

 

Foto:hoteliermiddleeast.com

 

Pemilik restoran yang tak memiliki sertifikat halal sempat pula memandang Halal Corner terlalu berlebihan. Pandangan negatif tersebut tak menyurutkan langkah Aisha. Ia yakin, berada di jalur yang benar. Menjadi Muslim tak boleh setengah-setengah. Ketika Allah SWT sudah mengharamkan sesuatu maka sebaiknya jangan dikonsumsi. "Ajaran Islam sudah sangat jelas memandu dan mengaturnya."

Kini, pemilik restoran pun sudah banyak yang memberi tanggapan positif terhadap keberadaan Halal Corner. Biasanya, mereka menanyakan prosedur pembuatan sertifikat halal. Anggota komunitas berusaha untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan kapasitasnya. "Kami sampaikan untuk mendapatkan sertifikat halal juga tidak sulit," ujar Aisha.

Seiring makin banyaknya yang menyadari pentingnya bergaya hidup halal, Aisha menerima banyak pertanyaan dari masyarakat. Mayoritas meminta rekomendasi restoran atau kafe yang bersertifkat halal. Ada pula yang memang belum bergaya hidup halal dan ingin memulainya. "Daftar restoran dan kafe halal kami ambil dari data resmi milik LPPOM MUI," tutur Aisha.

Muslimah, lanjut Aisha, harus menjadi konsumen cerdas dengan memilih kafe atau restoran tempat makannya. Sebaiknya, hindari yang tidak memiliki sertifikat halal. Kalau restorannya belum mengantongi sertifikat halal, carilah tempat makan yang juga menyediakan minuman keras. Lantas, perhatikan bahan dan proses memasak agar terjamin tidak menggunakan wine atau angciu. "Lebih baik, menghindari dan menolak ketimbang mencoba-coba yang belum jelas kehalalannya."

Halal Corner mencoba memberikan informasi halal secara utuh. Muslimah diajak untuk mengenal prinsip halal dan tayib. Tidak hanya halal, tetapi apa yang dikonsumsi juga harus bermanfaat bagi tubuh. Selanjutnya, Muslimah dimotivasi untuk menjadi konsumen restoran dan kafe yang memang telah terdaftar dalam LPPOM MUI. Selanjutnya, Muslimah harus berusaha menjaga konsistensinya untuk bergaya hidup halal. "Jangan sampai tergoda dengan restoran yang populer karena menyajikan masakan lezat. namun belum jelas letak halalnya," ucap Aisha memberi saran.

Ketika seorang ibu bergaya hidup halal, keluarga akan lebih mudah mengikuti. Gaya hidupnya akan menginspirasi dan mengubah pola pikir anggota keluarga lainnya. "Dengan begitu, keluarga Muslim akan lebih hati-hati saat makan di luar," tutur Aisha. ed: reiny dwinanda

***

Merangkul UKM

Gaya hidup halal juga perlu didukung dengan produk-produk Usaha Kecil Menengah (UKM) bersertifikat halal. Di Indonesia, jumlah UKM mencapai ribuan. Mereka menyediakan produk makanan, minuman, perawatan kecantikan, dan barang konsumsi lainnya. Sertifikat halal perlu dimiliki UKM agar konsumen merasa terlindungi. Pola pikir Muslim Indonesia yang sudah peduli mengenai halal menjadi sebuah target pasar untuk produk domestik. "Meski, ada juga yang masih beranggapan semua produk di Indonesia halal," kata Meili Amalia, mantan sekretaris UKM Gemar Halal.

Tidak semua produk yang ada di pasaran lokal terjamin halal. Di lain sisi, gempuran produk halal dari luar negeri, terutama dari Malaysia dan Thailand, membuat persaingan semakin ketat. "Kalau produsen di Indonesia tetap ingin menjadi raja di negeri sendiri, tentunya mereka harus menyediakan produk yang memenuhi standar internasional, termasuk kehalalannya," tutur Meili.

Saat ini, Indonesia masih berbeda dengan Malaysia. Pemerintah negeri jiran sangat mengutamakan kehalalan produknya. Di Indonesia, pemerintah belum menganggap aspek kehalalan produk sebagai kewajiban yang harus diupayakan produsen. Produsen mengurusnya secara sukarela saja. Ini yang membuat pasar Indonesia terutama UKM harus berusaha ekstra keras agar produknya mampu bersaing, baik di dalam maupun luar negeri. Pemerintah juga perlu mendukung hal tersebut menjadi sebuah regulasi. Masyarakat Muslim pun mesti lebih terdidik mengenai produk halal. "Banyak yang beranggapan Indonesia adalah negara Muslim, sehingga semua makanan sudah pasti halal, padahal tidak demikian," ucap Meili.

Beberapa tahun terakhir, pemerintah juga memberikan fasilitas pembuatan sertifikat halal gratis untuk UKM. Dengan begitu, tidak ada lagi alasan bagi pelaku usaha untuk tidak memiliki sertifikat halal. Konsumen juga perlu getol menanyakan kehalalan barang konsumsinya.

Salah satu produk yang paling riskan kehalalannya adalah usaha kue kering dan bakeri rumahan. Produsen Muslim tak menjamin produknya akan halal. "Masyarakat perlu diedukasi mengenai hal ini," kata Meili yang juga mendirikan Komunitas My Halal Kitchen pada 2012.

Melalui grup Facebook Myhalalkitchen, Meili mempertemukan para pelaku usaha dan konsumen agar dapat bertukar pikiran. Harapannya, kue atau cake yang dibeli konsumen akan terjamin kehalalannya sejak di hulu meski sang konsumen bukan orang yang peduli dengan status halal. Grup ini juga menyediakan toko online yang memungkinkan UKM menjual produk halalnya. "Kami ingin tercipta sebuah pasar halal, sehingga konsumen bergaya hidup halal bisa menemukan produk UKM halal, memiliki sertifikat halal," papar Meili.

***

Semakin Digemari

Selama beberapa tahun terakhir, gaya hidup halal mulai mendapat tempat di hati masyarakat Muslim. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, prinsip hidup halalan tayiban memang sudah sepatutnya dijalankan. "Gaya hidup halal sudah mulai marak sejak tiga sampai empat tahun terakhir di Indonesia," komentar Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Halal Watch Rachmat OS Halawa.

Muslim yang mengadopsi gaya hidup halal jumlahnya memang masih jauh dari harapan Halal Watch. Apabila dibandingkan dengan total jumlah Muslim di Indonesia, mereka yang peduli untuk hidup halal belum menjadi mayoritas. Akan tetapi, penyebaran materi kampanye hidup halal tampak berkembang signifikan. Promosi dari mulut ke mulut dan jejaring sosial telah memunculkan kesadaran pada umat Islam. "Banyak yang tak lagi gegabah dalam mengonsumsi produk," ujar Rachmat.

Fakta di lapangan, masih banyak restoran yang belum memiliki sertifikat halal. Rujukan sertifikat halal di Indonesia saat ini masih dipegang LPPOM MUI. Pengurusannya sebatas tindakan sukarela dari pemilik usaha. "Belum ada kewajiban bagi pengusaha kuliner atau produk konsumsi lainnya untuk mengurus sertifikat halal, padahal sertifikat ini yang menjadi rujukan kehalalan suatu makanan atau minuman," kata Rachmat.

Memang tidak semua restoran yang tak berlogo halal produknya menjadi haram untuk dikonsumsi. Tetapi, konsumen Muslim tentu harus bijak menghadapi hal tersebut. Masyarakat tidak bisa melihat proses pembuatan dari makanan. Contohnya, pemotongan hewannya  sesuai atau tidak dengan ketentuan Islam. "Dalam hal ini, sebaiknya pilihlah yang memang mendekati halal," kata Rachmat.

Seperti apa contohnya? Konsumsilah makanan yang sedikit mungkin menyentuh proses teknologi dalam pembuatannya. Baik itu proses fermentasi, atau lainnya. "Makanlah makanan yang bahannya langsung diambil dari alam tanpa adanya campur tangan mesin," tutur Rachmat yang bersama Halal Watch kerap melakukan jelajah kuliner untuk memberikan edukasi, merangkul masyarakat agar hidup halal, serta menarik produsen agar segera mengajukan sertifikat halal.

Masyarakat juga belum satu suara mengenai beberapa campuran bumbu masakan. Misalnya, ada yang menggunakan wine ketika membakar makanan. Mereka berpendapat alkohol akan menguap dalam proses pembakaran, padahal ketentuan agama telah jelas menetapkannya dalam kategori haram.

Sementara itu, pemakaian gelatin dari lemak babi juga mesti diwaspadai. Dalam hal ini, umat Islam harus kembali pada ajaran agama. Islam mengajarkan untuk membedakan bahan pangan antara yang halal dan haram. Khamar dan babi diharamkan dalam Islam. Apabila keduanya bercampur dalam makanan, sehingga sulit untuk memisahkannya, lebih baik tidak memakan makanan tersebut.

Saat ini, produk dari luar negeri justru memulai langkah lebih maju menyasar konsumen Muslim dengan mengeluarkan sertifikat halal. Sertifikat halal dikeluarkan oleh Islamic Council atau lembaga yang sudah menjalin kerja sama dengan LPPOM MUI. Daftar lembaga bisa dilihat langsung di website resmi MUI atau LPPOM.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement