Selasa 13 Jan 2015 14:00 WIB

Sengketa Pilkada

Red:

Kasus Akil Mochtar, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), meninggalkan lubang menganga di sistem peradilan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada). Setelah Akil terbukti menerima suap dari para calon kepala daerah, MK melepaskan kewenangannya mengadili sengketa pilkada. Tahun lalu, MK mengembalikan sidang sengketa itu ke gedung Mahkamah Agung (MA). Namun, di sinilah lingkaran masalahnya dimulai.

Sejak awal ketika MK melempar kewenangan peradilan sengketa ke MA, beberapa hakim MA sudah memberi isyarat menolak. Salah satu alasan pragmatis MA adalah banyaknya tunggakan perkara yang mereka hadapi. Tanpa limpahan perkara pilkada pun sudah ribuan kasus yang tak tertangani MA saban tahun. Apalagi kalau kewenangan peradilan itu dikembalikan.

Sinyal lebih keras penolakan ini kembali mencuat pada 8 Januari lalu. Ketua MA Hatta Ali dalam jumpa pers di gedung MA mengatakan, sengketa pilkada itu seharusnya tak perlu dibawa ke badan peradilan.

Ketua MA menilai selama ini peradilan sengketa pilkada di MK sebenarnya berlangsung baik. Memang, Hatta Ali tidak menyinggung kasus suap ketua MK Akil Mochtar. Namun, ia kemudian menegaskan, "(Sengketa pilkada) janganlah dibawa ke MA." Ketua MA lalu melempar bola peradilan itu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut dia, seharusnya dibentuk lembaga khusus untuk menyelesaikan sengketa pilkada, bisa satu peradilan tambahan atau lembaga ad hoc khusus pilkada.

Keberatan MA ini tidak bisa disepelekan. Namun, waktunya kini semakin mepet. Pada 2015-2016 sejumlah daerah provinsi maupun kabupaten/kota akan menggelar pilkada serentak. Dengan sikap MA seperti itu, siapa nanti yang akan mengadili sengketa pilkada? Siapa mau menjadi juri?

Dengan situasi seperti ini, mempertahankan ego sektoral bukanlah jalan keluar yang baik. Kita ingin semua pihak, Kemendagri, KPU, Bawaslu, MK, dan MA kembali duduk satu ruangan mencari jalan keluar terbaik. Ke meja siapa berkas sengketa pilkada akan diletakkan.

Pertanyaannya bukan lagi pada siapkah MA mengadili sengketa pilkada, tapi sudah seberapa jauh persiapan menangani sengketa pilkada itu dilakukan MA? Seusai pertemuan dengan KPU pada 9 Januari lalu, MA menyatakan akan menunjuk empat pengadilan tinggi tata usaha negara (PTUN) untuk menangani sengketa pilkada itu, yakni PTUN Jakarta, Medan, Surabaya, dan Makassar.

Namun, satu hakim agung sampai harus berdoa soal sengketa pilkada ini. "Kami berdoa dalam hati, hendaknya negara ini punya pengadilan khusus pemilu yang diberi nama electoral court, seperti wasit di sepak bola," kata Supandi, hakim bersangkutan. Kita membaca keengganan menangani sengketa pilkada itu kental betul di tubuh hakim-hakim agung.

Sebuah pengadilan khusus tentu usul yang bagus, tapi apakah ia bisa dibentuk dalam satu tahun? Rasanya tidak. Terlalu mepet bagi semua pihak untuk membangun satu peradilan khusus pemilu seperti ini. Mulai dari infrastruktur sampai ke menyediakan sumber daya manusia (SDM) khusus menangani sengketa pilkada. Persoalan SDM khusus pilkada ini cukup serius karena dari pantauan Komisi Yudisial, aparat hukum pun banyak yang tidak akrab dengan materi hukum sengketa pemilu.

Kemudian muncul usulan lain dari kelompok pengamat. Perkumpulan untuk pemilu dan Demokrasi mengusulkan agar fungsi Bawaslu yang diubah menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pemilu. Tentu mengubah fungsi ini akan juga mengubah persyaratan keanggotaan dan kewenangan Bawaslu lainnya. Seperti pembagian penanganan kasus dengan polisi dan penegak hukum lainnya. Tapi lagi-lagi, dengan waktu yang kurang dari 12 bulan, bisakah?

Melihat urgensi pilkada serentak, tampaknya publik harus menerima sengketa pilkada rezim ini akan dibawa ke meja MA. Namun, kebutuhan akan satu lembaga khusus yang menangani sengketa pilkada harus menjadi prioritas pemerintah ke depan. Jangan ada lagi saling "sandera" siapa yang mau mengurus sengketa pilkada.

Dengan perencanaan dan koordinasi yang baik antara lembaga peradilan dan pemerintah, kita berharap misi membangun electoral court berjalan lancar. Lembaga baru itu diharapkan memunculkan hakim-hakim yang paham pemilu dengan baik. Lembaga akan menjadi tempat belajar bagi aparat penegak hukum lainnya yang akan membantu menyelesaikan perkara pidana pemilu. Selain itu, yang juga penting adalah lembaga baru itu tidak menjadi sarang mafia peradilan pilkada, berkaca dari kasus Akil Mochtar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement