oleh: Abdullah Sammy -- Legenda Belanda Johan Cruyff pernah menyatakan "sepak bola adalah permainan yang dimainkan dengan otak". Pandangan ini bisa mewakili kenyataan yang ada di lapangan saat ini.
Teknik tak lagi jadi syarat utama sebuah tim bisa memenangi laga. Tengok saja hasil di Piala Dunia kali ini. Tim seperti Kosta Rika secara hitungan teknik jauh berada di bawah hegemoni Italia, Inggris, dan Uruguay.
Sebagai bukti, bintang utama Kosta Rika Joel Campbell saja tak mampu bersaing di Liga Primer Inggris. Jangankan bermain, Campbell tak mampu menembus tim cadangan Arsenal. Akibatnya, dia dibuang ke Olympiakos.
Namun, Kosta Rika membuktikan bahwa teknik bukanlah segalanya. Laiknya ucapan Cruyff, negara di perairan Karibia ini membuktikan bahwa sepak bola ditentukan oleh kemahiran otak.
Ini setidaknya yang diakui oleh pelatih Kosta Rika, Jorge Luis Pinto. Pelatih berkebangsaan Kolombia ini menilai, timnya memang kalah segalanya dari segi teknik dibandingkan tim lain di Grup D.
Karenanya, dia memutar otak. Ketertinggalan teknik dia tutupi dengan racikan taktik. Keberhasilan taktik yang diotaki Pinto terlihat jelas kala Kosta Rika mampu mengalahkan Italia 0-1.
Uniknya, keunggulan taktik Kosta Rika disebabkan siasat Pinto yang mencuri strategi dari tanah Italia. Untuk menaklukkan Azzurri, kata Pinto, dia mencuri strategi yang diterapkan tim juara Liga Italia, Juventus.
Strategi Juventus yang memainkan tiga bek sejajar yang diapit tiga bek sayap, tiga gelandang tengah, dan dua penyerang (3-5-2) dia terapkan. Uniknya, lawan yang mereka hadapi kala itu menurunkan lima pemain Juventus, tim yang strateginya "dicuri" Pinto.
Sebaliknya, Italia tak memakai formasi ala Juventus kendati separuh timnya berasal dari tim asal Kota Turin itu. Cesare Prandelli yang menurunkan duet bek asal Juventus, Giorgio Chiellini dan Andrea Barzagli, justru memaksakan keduanya bermain dalam pola empat bek sejajar dalam pola 4-3-2-1.
Padahal, Chiellini dan Barzagli sudah tiga tahun tak lagi pernah merasakan bermain dengan formasi empat bek bersama Juventus. Akibatnya, keduanya pun jadi kikuk dalam menghadapi serangan lawan. Hasilnya pun Kosta Rika mampu membenamkan Italia.
Dengan formasi tiga bek, Kosta Rika sudah cukup mampu meredam seorang Balotelli pada babak pertama. Sebaliknya, dua bek sayap Kosta Rika aktif dalam membantu serangan balik dari sektor sayap.
Dan hasilnya, Kosta Rika unggul satu gol pada babak pertama lewat sebuah proses yang diawali dari pergerakan di posisi bek sayap. Permainan adu otak pun kembali dilakukan Pinto pada babak kedua kontra Italia.
Kala Italia memutuskan mengganti dua gelandangnya, Claudio Marchisio dan Antonio Candreva, Pinto sudah menyiapkan antitesisnya. Dua bek sayap Cristian Gamboa dan Junior Diaz yang pada babak pertama lebih aktif menyerang, direposisi sebagai full back oleh Pinto. Jadilah Kosta Rika bertransformasi pola permainan pada babak kedua menjadi lima bek, tiga gelandang, dan dua penyerang (5-3-2).
Dengan strategi itu, praktis tiga penyerang Italia terkunci. Walhasil, walau Italia unggul jumlah pemain di tengah, hal itu tak berpengaruh banyak pada hasil laga. Italia hanya mampu mengontrol jalannya permainan di babak kedua. Namun, Kosta Rika-lah yang akhirnya meraih tiga angka.
Apa yang dilakukan Pinto itu jadi bukti bahwa taktik lebih menentukan ketimbang teknik. Otak pun jadi elemen yang menentukan laga.
Sepak bola pun tak melulu harus sesuai dengan artinya sebagai olahraga adu sepak. Adu sepak kini berkembang jadi adu otak.