REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta draft revisi UU Tipikor harus menegaskan bahwa seorang koruptor tidak boleh mendapatkan grasi. Para koruptor itu harus mendapatkan hukuman yang sangat keras. "Para koruptor itu harus diberikan sanksi sosial jangan malah diberikan grasi," ujar Ketua KPK, Busryo Muqoddas di Jakarta, Senin (4/4).
Busryo menyarankan, dalam revisi itu dicantumkan aturan soal adanya sanksi sosial bagi para koruptor. Mereka yang sudah menjadi terpidana harus mengenakan baju bertuliskan 'Saya koruptor' dan menyapu jalan di lingkungan masyrakat. Dengan begitu, keluarganya akan melihat terpidana itu sehingga akan memberikan efek jera. Karena, rumah tangganya akan menjadi berantakan. "Kalau keluarganya berantakan, mereka kan kapok melakukan korupsi," ujarnya.
Menurutnya, ada pasal-pasal yang harus dipertahankan seperti pasal ancaman hukuman minimal dan pasal hukuman mati. Karena, jika pasal-pasal tersebut dihilangkan, maka akan membuat masyarakat akan menganggap bahwa korupsi bukan kejahatan yang luar biasa.
Dihilangkannya pasal itu juga akan membuat praktik korupsi marak terjadi di kalangan masyarakat menengah ke bawah. DPR Belum Memutuskan KPK diikutsertakan atau Tidak Dalam Penyusunan Draft Revisi UU Tipikor.
Ketua DPR RI, Marzuki Ali mengatakan, pihaknya belum bisa berkomentar apakah dalam penyusunan draf revisi UU Tipikor ini KPK harus diikutsertakan atau tidak. Karena, ia harus menunggu hasil pembahasan yang dilakukan oleh Komisi III DPR RI. "Ya nanti kita lihat tergantung keperluannya, apakah KPK harus dilibatkan atau tidak," ujar Marzuki.
Menurutnya, dalam revisi UU Tipikor itu baik KPK maupun DPR memiliki kepentingan masing-masing. KPK berharap revisi itu bisa menjadikan upaya pemberantasan korupsi lebih efektif sedangkan DPR ingin agar kinerja DPR tidak terganggu oleh adanya praktik-praktik korupsi.