REPUBLIKA.CO.ID-Tak banyak yang tahu jika kapten Kapal MV Sinar Kudus, Slamet Jauhari (50 tahun), berasal dari Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Mungkin itu lantaran kapten kapal milik PT Samudera Indonesia Tbk itu telah meninggalkan kota kelahirannya sejak 25 tahun silam. Dia bersama keluarganya kini menetap di Jakarta.
Warisan rumah orangtua Slamet, kini ditempati kakaknya yang bernama Madi Sutarno (65). Rumah itu terletak di Dusun Ngelarang, Desa Basin, Kecamatan Kebonarum, Klaten. Di dusun ini, kabar tentang Slamet yang sedang disandera perompak Somalia bersama 30 awak kapal lainnya, juga adem-ayem saja.
Meskipun, kabar penyanderaan itu hampir setiap hari mengisi berita di televisi dan media massa lainnya. Tetangganya, bisa jadi tak begitu menyadari bahwa kapten kapal yang dirompak itu berasal dari kampung mereka sendiri. Praktis, rumah kuno yang dibangun menghadap ke Selatan itu tampak sepi. Suasana rumah juga tak ada aktivitas berarti, kecuali hanya ada Madi dan isterinya.
Madi sedang dilanda kerisauan sejak mendengar musibah yang melanda adiknya. Ketika serombongan wartawan bertandang ke rumahnya, beberapa hari lalu, Madi tampak gelagapan. Ia jarang menerima tamu kecuali tetangga yang datang karena ada urusan seperlunya. Di rumah sederhana itu hanya ada kursi rotan lawas dan televisi 14 inci yang menjadi 'teman' seharian pasangan suami-isteri yang menginjak usia lanjut itu.
Namun, Madi tak kaget ketika ditanya ihwal nasib adiknya. Ia mengungkapkan, awalnya mengetahui kabar penyanderaan itu dari televisi sepekan yang lalu. Ia kian yakin bahwa kapten kapal yang disandera itu adalah Slamet ketika adiknya diwawancarai sebuah televisi nasional melalui telepon.
Kedua mata Madi sempat berkaca-kaca ketika melihat tayangan televisi yang memberitan pembajakan tersebut. ''Saya hanya khawatir saja soal keselamatan adik di laut,'' ujarnya lirih.
Sejak kejadian, tak ada kontak apapun dari adiknya. Setelah yakin bahwa kapten kapal yang disandera itu betul adiknya, barulah dia menghubungi saudara di Jakarta. Dia pun langsung syok setelah mendapatkan kepastian dari keluarga Slamet. Setelah itu, hari-harinya lebih banyak dihabiskan di depan televisi untuk memantau perkembangan kabar sang adik.
Madi mengisahkan, pertemuan terakhir dengan Slamet terjadi sekitar dua tahun silam. Tepatnya, saat pemakaman ibu mereka, Painah, di desanya. Sejak menetap di Jakarta, kepulangan Slamet ke kampung halaman juga tidak pasti. Kadang setahun atau dua tahun sekali. Bahkan, usai ibu mereka meninggal, Slamet malah belum pernah balik ke sana. ''Saya yang harus ke Jakarta untuk bertemu adik dan keponakan,'' kata Madi.
Dia masih ingat betul apa yang disampaikan sang adik ketika pulang ke kampung halaman terakhir kali. Ketika sedang berbincang santai di teras rumah, Slamet pernah menyampaikan keinginan untuk tidak melaut lagi. Karena sejak lajang, Slamet menjalani profesi sebagai pelaut.
Tentu dengan cerita yang disampaikan adiknya, Madi mengira Slamet benar-benar sudah tidak melaut. Karena kala itu Slamet menyampaikan keinginan bekerja di kantor saja. ''Jadi, saya sangat kaget begitu melihat berita kejadian yang menimpa kapal yang ditumpangi adik saya,'' kata Madi sambil menahan air mata agar tidak keluar.
Meski jauh dari Jakarta, Madi tak henti-hentinya memberi dukungan kepada isteri dan anak Slamet. Dia terus berdoa demi keselamatan adiknya dan tak lupa memantau perkembangannya melalui televisi. MV Sinar Kudus dibajak sejak 16 Maret 2011.
Putra sulung Slamet, Rezka Judittia, mengungkapkan komunikasi terakhir dengan ayahnya dilakukan lima hari lalu. Itu pun menunggu dihubungi oleh ayahnya. Dalam percakapan telepon, ayahnya mengabarkan bahwa persediaan makanan dan minuman yang semakin menipis. Belum lagi, beberapa ABK mulai menderita sakit. Bahkan satu di antaranya dalam kondisi parah.
Slamet meminta upaya penyelamatan secepatnya. Dia juga meminta keluarganya untuk tetap tenang dan berpikir positif. ''Jaga rumah, jaga ibu dan adik, berdoa supaya bisa cepat dibebaskan,'' tutur Rezka dengan kepala tertunduk menirukan pesan ayahnya.
Rezka mendapat kabar dari ayahnya bahwa setiap hari para awak kapal sholat berjamaah, berzikir, dan berdoa. Ada pula yang berpuasa. Rezka dan keluarganya hanya memiliki keinginan sederhana bahwa seluruh awak kapal segera dibebaskan dan kembali ke rumah.