REPUBLIKA.CO.ID, Di bawah pimpinan Khalid bin Walid, pasukan Muslimin kini kembali pulang setelah terjadi peristiwa Muktah itu. Mereka pulang tanpa membawa kemenangan, tidak pula kekalahan. Mereka kembali pulang dengan hati riang.
Penarikan mundur ini—setelah Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah syahid—meninggalkan kesan yang berbeda-beda pada pihak Romawi, kaum Muslimin yang tinggal di Madinah, dan pada pihak Quraisy di Makkah.
Romawi merasa sangat gembira dengan penarikan mundur pasukan Muslimin itu. Mereka merasa bersyukur, sebab pertempuran itu tidak sampai berlangsung lama, meskipun tentara Romawi terdiri dari 100.000 orang menurut satu sumber, atau 200.000 menurut sumber yang lain. Sementara pasukan Muslimin terdiri dari 3.000 orang. Kabilah-kabilah Arab yang tinggal di perbatasan dengan Syam sangat kagum melihat tindakan Muslimin ketika itu.
Karena peristiwa itu pula salah seorang pemimpin mereka (Farwa bin Amr Al-Judhami, seorang komandan pasukan Romawi) langsung menyatakan diri masuk Islam. Akan tetapi, atas perintah Heraklius dia kemudian ditangkap dengan tuduhan berkhianat.
Sungguhpun begitu Heraklius masih bersedia membebaskannya kembali asal saja ia mau kembali ke dalam pangkuan agama Nasrani. Bahkan ia bersedia mengembalikannya pada jabatan semula sebagai komandan pasukan. Namun Farwa menolak dan tetap bertahan dalam keislamannya, sehingga akhirnya ia dibunuh juga. Tetapi karena itu pula Islam makin luas tersebar di kalangan kabilah-kabilah Najd yang berbatasan dengan Irak dan Syam. Ketika itu Romawi sedang berada di puncak kekuasaannya di sana.
Dengan bertambah banyaknya orang masuk ke dalam agama baru ini, Kerajaan Bizantium makin goyah kedudukannya, sehingga ada penguasa Heraklius, yang bertugas membayar gaji militer, berkata lantang kepada orang-orang Arab Syam yang ikut dalam perang, "Lebih baik kalian menarik diri. Kerajaan dengan susah payah baru dapat membayar gaji angkatan perangnya. Untuk makanan anjingnya pun sudah tidak ada."
Tidak heran kalau mereka lalu meninggalkan kerajaan dan meninggalkan angkatan perangnya. Sebaliknya, agama baru ini makin cemerlang sinarnya memancar di hadapan mereka, yang akan mengantarkan mereka kepada kebenaran yang lebih tinggi, yang akan menjadi tujuan umat manusia.
Itu pula sebabnya, selama waktu itu saja ribuan orang telah masuk Islam, yang terdiri dari kabilah Sulaim dengan pemimpinnya Al-Abbas ibnu Mirdas, kabilah-kabilah Asyja' dan Ghatafan yang dahulu telah bersekutu dengan Yahudi sampai hancurnya Yahudi di Khaibar, demikian juga kabilah-kabilah Abs, Dhubyan dan Fazara. Peristiwa Muktah ini jugalah yang telah memudahkan persoalan bagi Muslimin di bagian utara Madinah sampai ke perbatasan Syam itu, dan ini pula yang telah membuat Islam lebih terpandang dan lebih kuat.
Akan tetapi buat Muslimin yang tinggal di Madinah, pengaruhnya lain lagi. Ketika mereka melihat Khalid dan pasukannya kembali dari perbatasan Syam tanpa membawa kemenangan atas pasukan Heraklius, mereka bersorak-sorak, "Hai orang-orang pelarian, kamu lari dari jalan Allah!"
Beberapa orang anggota pasukan itu merasa demikian malu sampai ada yang tidak berani keluar rumah, agar tak lagi diperolok-olok oleh anak-anak dan pemuda-pemuda Muslimin dengan tuduhan melarikan diri.
Sebaliknya di mata Quraisy, akibat Muktah itu dipandang oleh mereka sebagai suatu kehancuran dan pukulan berat buat Muslimin, sehingga tak ada lagi orang yang mau menghiraukan mereka atau menganggap penting segala perjanjian dengan mereka.
Biarlah keadaan kembali seperti sebelum 'Umratul Qadha'. Biarlah keadaan kembali seperti sebelum Perjanjian Hudaibiyah. Biarlah orang-orang Quraisy kembali lagi menyerang kaum Muslimin dan siapa saja yang masih terikat perjanjian dengan mereka tanpa harus merasa takut ada tindakan hukum dari Muhammad.
Perdamaian Hudaibiyah antara lain sudah menentukan, bahwa barangsiapa yang ingin masuk ke dalam persekutuan dengan Rasulullah boleh saja, dan barangsiapa ingin masuk ke dalam persekutuan dengan pihak Quraisy juga boleh. Ketika itu Khuza'ah masuk bersekutu dengan Muhammad sedang Bani Bakar dengan pihak Quraisy.
Sebenarnya, antara Khuza'ah dengan Bani Bakar ini sudah lama timbul permusuhan yang baru reda setelah ada perjanjian Hudaibiyah. Masing-masing kabilah menggabungkan diri dengan pihak yang mengadakan perdamaian itu.
Dengan adanya peristiwa yang telah terjadi di Muktah, sekarang terbayang oleh Quraisy bahwa Muslimin pasti mengalami kehancuran. Sudah terbayang oleh Bani Ad-Dil—sebagai bagian dari Bani Bakar bin Abdi Manat—bahwa sekarang sudah tiba waktunya untuk membalas dendam lamanya kepada Khuza'ah. Ditambah lagi, memang ada segolongan orang dari pihak Quraisy yang ikut mendorong, di antaranya Ikrimah bin Abi Jahal dan beberapa orang pemimpin Quraisy lainnya yang sekalian memberikan bantuan senjata.