Ahad 31 Jul 2011 12:16 WIB

Alquran dan Sains: Hakikat Kematian

Red: cr01
Ilustrasi
Foto: alhafid.multiply.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Kematian sebagai salah satu dari fenomena kehidupan yang biasa terlihat di tengah-tengah kita, telah membuat ‘bingung’ para ahli biologi. Mereka dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi tingkat tinggi telah berusaha untuk menemukan hakikat dari kematian ini.

Namun kematian tetap saja, sebagai sebuah misteri, sangat sulit untuk dipahami apalagi dihindari. Kemampuan manusia tidak akan dapat mengetahui hakikatnya, karena keterbatasan kemampuan, sesuai yang diberikan Allah.

Pada masa silam, manusia umumnya meyakini bahwa kematian merupakan fenomena umum yang terjadi dan berhubungan dengan tubuh manusia, di mana tubuhnya mengalami suatu proses kehilangan fungsi kehidupannya. Namun dengan kemajuan ilmu biologi, mereka mendapatkan kesimpulan bahwa kematian, ternyata melancarkan serangan yang menyebabkan sel-sel tubuh mati dan kehilangan fungsinya.

Kematian sel-sel ini dimulai dengan kerusakan dan kematian zat-zat yang terdapat dalam sel, akibat serangan mikroba dari luar tubuh sel, yang tidak dapat dilawan oleh antibodi yang dimilikinya. Dalam keadaan ini, kematian mengakibatkan perubahan yang terjadi pada fungsi dan kemampuan struktural yang dimiliki sel-sel hidup yang terdapat pada tubuh. Perubahan ini dapat langsung dirasakan oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan kematiannya. Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa sel hidup yang terdapat dalam tubuh kita dapat merasakan ‘kematian’ ini.

Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Alquran yang terdapat pada surah Ali Imran ayat 185 yang berbunyi: "Tiap-tiap yang berjiwa (hidup) pasti akan merasakan maut."

Ungkapan Alquran yang menggabungkan makna dari kata ‘nafsun’ dengan makna dari kata ‘dza-iqotul maut’, menggambarkan hubungan antara apa yang dirasakan oleh 'nafsun' tersebut dengan ‘kematian’. Dan cara pengungkapan yang memilih penggunaan kata subyek ‘dzaa-iq’ yang berasal dari kata 'dzaaqa', dan tidak menggunakan kata subyek ‘mutadzawwiq’ yang berasal dari kata 'tadzawwaqa' menggambarkan bahwa kematian pada mulanya, menimpa bagian dalam sel-sel tubuh, bukan bagian luarnya. Hal ini sesuai dengan apa yang kita dapatkan dari hasil analisa sel yang membuktikan terdapatnya semacam ‘kesiapan sel untuk mati’ atau apa yang dapat kita sebut sebagai ‘batasan waktu kematian’ (al-miiqaat az-zamani lil maut).

Di mana, sejak terciptanya suatu gen dari suatu sel tertentu, sesungguhnya setiap sel telah memiliki sketsa yang mengatur kehidupan dan fungsinya, serta batasan waktu berakhirnya fungsi sel tersebut atau kematiannya. Sebagai buktinya, adalah kematian sebagian sel tubuh sebelum datangnya serangan mikroba yang menyebabkan kematiannya.

Hal ini sebagaimana isyarat yang diberikan Alquran dalam surah Yunus ayat 49. Allah SWT berfirman: "Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudaharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah. Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan(nya)."

Tentang waktu tertentu bagi kematian sel-sel hidup, juga dijelaskan dalam surah ar-Ra’d ayat 38. Allah SWT berfirman: "Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)."

Kemudian, penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa kematian terkadang datang secara tiba-tiba tanpa didahului proses perubahan biologis.

Mengenai hal ini, jika kita mau melihat ke dalam Alquran, maka kita akan mendapatkan petunjuk mengenai kematian yang datang dengan tiba-tiba, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 259, yang menceritakan tentang peristiwa yang terjadi pada seseorang hamba Allah yang saleh. Allah SWT berfirman: "Atau apakah (kamu tidak memerhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapa lama kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya telah tingal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang-belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Pengungkapan Alquran dengan menggunaka huruf ‘fa’ dalam firman-Nya: "Fa amaatahullah" yang artinya: "Maka Allah mematikan orang itu", menggambarkan kejadian maut yang tiba-tiba yang menyebabkan terhentinya kehidupan di bagian dalam sel-sel tubuh.

Namun kematian sel-sel ini, tidak berarti hancurnya sel-sel tersebut, karena melalui proses pemeliharaan (pembekuaan) sel-sel ini, kehancurannya dapat dihindari. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh bagian ayat di atas yaitu: "Saya telah tingal di sini sehari atau setengah hari."

Dugaan di atas (dari hamba yang sholeh itu) yang menyatakan bahwa dirinya telah tinggal di negri itu sehari atau setengah hari, didasarkan pada apa yang dilihatnya dari kondisi fisiknya yang belem berubah dan tidak adanya kerusakan pada sel atau organ tubuhnya.

Hal ini menjelaskan bahwa sel-sel tubuh meskipun telah mati, bisa tetap dijaga sesuai keadaannya semula, jika dihindarkan dari sebab-sebab yang bisa mengakibatkan kehancurannya (misalnya, dibalsem). Dan proses ini, pada masa sekarang, bisa dilakukan oleh para ilmuwan dengan bantuan sains dan teknologi di bidang biologi yang telah berkembang pesat.

sumber : Ensiklopedi Petunjuk Sains dalam Al-Qur'an dan Sunnah
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement