REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Khusus TKI DPR RI melihat kentalnya kesan politis dan ekonomis dalam kebijakan pemutihan bagi pendatang asing tanpa ijin (PATI) yang dilakukan Pemerintah Malaysia mulai 1-21 Agustus ini. Agar kesan negatif ini hilang, DPR menuntut pemutihan 2,2 juta PATI, 70 persen di antaranya TKI, dapat dilakukan sepanjang tahun dan dilaksanakan secara terlembaga.
Anggota Timsus TKI dari Fraksi PDIP, Eva Sundari, mengingatkan kebijakan pemutihan PATI selalu dilakukan mendekati pemilu. Terlebih, waktu 20 hari yang diberikan Pemerintah Malaysia dianggap terlalu pendek untuk melakukan pemutihan terhadap 1,5 juta TKI ilegal yang berada di negeri tersebut.
"Timsus menghendaki penyelesaian fundamental dan komprehensif agar kejadian seruoa tidak terulang kembali. Caranya, pemutihan terlembaga dan dilakukan sepanjang tahun," ujar Eva di Gedung DPR RI, Kamis (4/8).
Pemutihan PATi merupakan bagian dari Program 6P yang mencakup pendaftaran-pengampunan-pemutihan-pemantauan-penguatkuasaan-pengusiran. Selama 20 hari terhitung1 Agustus kemarin, 2,2 juta PATI yang ada di Malaysia diberi kesempatan untuk kembali terdaftar sebagai pekerja legal yang tercatat dalam agen pendaftaran resmi.
Caranya, para pekerja ilegal akan dikenakan ongkos pemutihan oleh agen sebesar 3.600-4.000 Ringgit Malaysia (ongkos resmi hanya 335 Ringgit Malaysia). Eva menyebut cara ini sebagai praktik 'sewa bendera' agen pedaftaran yang menjadikan pekerja ilegal sebagai obyek pemerasan. Terlebih, bagi TKI yang tidak memiliki majikan akan dikenakan biaya Rp 8-10 juta per orang.
Atas dasar ini, Timsus mendukung Pemerintah RI meminta Pemerintah Malaysia menerapkan prinsip 'equal treatment'. Prinsip ini berlaku bagi majikan dan pekerja yang diperlakukan sama. Jika selama ini majikan cenderung melepas pekerja yang bermasalah, maka prinsip 'equal' membuat majikan juga mendapat pemutihan agar mendorong pemutihan status yang meringankan TKI.