REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Rabu (21/9) ini, anggota Komisi III DPR RI akan kembali melanjutkan seleksi Hakim Agung. Setelah melakukan tanya-jawab dengan tiga calon pertama, tiga calon selanjutnya kembali akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan tajam Komisi III yang menguji kepatutan dan kelayakan mereka sebagai calon Hakim Agung.
Salah satu calon adalah seorang ibu beranak dua yang kini menjadi dosen karier di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak 1986, Nurul Elmiyah. Perempuan yang meraih gelar Doktor Ilmu Hukum pada 2003 ini juga aktif di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
Dalam pandangan yang disampaikan dalam proses seleksi oleh Komisi Yudisial, Nurul menaruh perhatian pada moral justice atau keadilan berdasarkan moral. Menurutnya, moral penegak hukum yang baik harus menjadi kunci untuk membentuk dan mewujudkan hukum yang berpihak pada moral.
"Moral dan moralitas itu penting bagi peran hakim agung dalam menjalankan perannya sebagai pembaharu hukum. Karena, moralitas adalah ukuran baik dan buruk," tulis Nurul dalam resume makalah yang diterima Republika, Rabu (21/9).
Keadilan, kepastian dan kemanfaatan, kata Nurul, harus menjadi hasil yang ditunjukan dalam putusan hakim. Terlebih, pandangnya, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai yang hidup di kalangan masyarakat. "Karena itu hakim harus menjadi mulut kebenaran dan keadilan, tidak sekadar corong undang-undang."
Dalam pertimbangan hukum, Nurul berpendapat seorang hakim harus berani membuat terobosan yang menghubungkan filsafat hukum dalam pertimbangan hukumnya. Apabila, hakim dihadapkan antara kepastian dan keadilan, "Sesuai tujuan putusan untuk memberi keadilan, hakim jangan ragu untuk mengedepankan keadilan," tegas Nurul.