REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Sebanyak 100 anak-anak Indonesia dipenjara di Australia. Mereka ditempatkan di bangsal penjara untuk narapidana dewasa. Alasanya, pemerintah setempat mengaku tidak bisa mengidentifikasi usia asli anak-anak tersebut.
Namun, jumlah tersebut berbeda dengan data yang dimiliki oleh KBRI di Canberra, Australia. Anggota Komisi I, Teguh Juwarno mengatakan jumlahnya tidak sebanyak itu. “Barusan, saya kontak KBRI kita di canberra. Data mereka hanya 40 orang,” katanya saat dihubungi Republika, Senin (17/10).
Menurutnya, berapa pun jumlah dan data yang ada, pemerintah harus menyampaikan nota protes atas nasib anak-anak di bawah umur yang dipenjara di Australia. Pemerintah harus bisa mengupayakan cara untuk membebaskan anak-anak tersebut.
Politisi fraksi PAN, ini menilai anak-anak itu hanyalah korban dari sindikat penyelundupan manusia. Pada umumnya, lanjut dia, mereka tidak tahu apa yang dilakukan, hanya karena tergiur penghasilan tidak seberapa. “Gara-gara sibuk dengan reshuffle pemerintah abai terhadap nasib 100 anak-anak di bawah umur yang dipenjara Australia,” katanya.
Menurutnya, tuduhan yang dialamatkan kepada mereka menyiratkan sedikit keanehan. Sebab, mereka dituduh menyelundupkan manusia. Padahal, orang-orang yang mereka bawa yakni warga Afganistan adalah orang yang sudah mendapatkan visa untuk tinggal di Australia. “Ini kan ketidakadilan,” katanya.
Terlebih lagi Australia sudah menandatangani perjanjian dengan badan dunia seperti PBB dan UNESCO sebagai salah satu negara penerima asylum seeker atau pencari suaka.