REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi pernyataan soal kebijakan untuk melakukan moratorium remisi dipandang sebagai blunder yang seharusnya tak perlu terjadi. "Saya curiga, sudah terjadi rivalitas antara Menkumham versus Wamenkumham," kata anggota Komisi III Bambang Soesatyo, Senin (7/11).
Menurutnya, peran Wamenkumham Denny Indrayana tampak sangat dominan untuk memaksakan kebijakan ini, karena Wamenkumham memanfaatkan jabatannya untuk mendiskreditkan kekuatan-kekuatan politik tertentu dan berupaya mendulang pencitraan.
Menggagas kebijakan moratorium atau pembekuan sementara remisi tanpa mengubah UU No.12/1995 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.28/2006, menggambarkan rendahnya kualifikasi penggagas kebijakan itu.
Celakanya, lanjut politisi Partai Golkar ini, sikap tidak bertanggungjawab dan menyederhanakan persoalan yang diperlihatkan Wamenkumham Denny Indrayana semakin menambah keprihatinan.
Cara Wamenkumham mengatasi persoalan dengan sekadar meralat kata moratorium menjadi pembatasan sama sekali tidak mencerminkan sikap penuh tanggungjawab seorang pejabat tinggi negara. “Tidak layak dan tidak pada tempatnya seorang pejabat publik bertindak 'suka-suka' seperti itu," katanya.
Apa pun argumentasi Wamenkumham, kredibilitas KIB-II hasil reshuffle yang usianya masih seumur jagung ini telah tercoreng. Kini, masyarakat mempunyai alasan yang cukup untuk meragukan kapabilitas pemerintahan ini.
"Saya juga menggarisbawahi pernyataan Menkumham Amir Syamsuddin tentang terbukanya ruang bagi siapa saja untuk menggugat kebijakan Moratorium Remisi itu," katanya.
Pernyataan itu menjadi indikasi bahwa sebenarnya Menkumham sadar kalau dasar kebijakan itu lemah. Pertanyaannya, lanjut dia, kenapa kebijakan itu dipaksakan untuk diumumkan ke publik?
Kredibilitas Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)- II pasca reshuffle pun dinilainya telah tercoreng. "Kabinet telah tercoreng akibat blunder Menkumham dan Wamenkumham dengan kebijakan mereka tentang moratorium remisi bagi terpidana koruptor, teroris dan pengedar Narkoba itu," katanya.
Presiden SBY perlu mengonsolidasikan lagi anggota KIB-II agar blunder serupa tidak berulang. Karena blunder yang dilakukan Menkumham dan Wamenkumham membangkitkan lagi pertanyaan seputar kualifikasi para menteri anggota KIB-II.