REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD – Hampir sembilan tahun setelah pasukan Amerika menyerbu Irak, AS memutuskan untuk mengakhiri konflik berdarah, Kamis (15/12). Tapi perdebatan apakah peperangan AS di Irak sepadan dengan biaya dan nyawa yang telah dikorbankan, masih belum terjawab.
Sekalipun banyak ungkapan yang menggambarkan kemenangan, bagi pasukan AS maupun rakyat Irak yang kini memiliki jalan menuju demokrasi, terdapat pertanyaan yang tetap menggerogoti, apakah Irak mampu menempa pemerintahan baru mereka di tengah bentrokan sektarian yang terus bercokol?
Dan mampukah Irak untuk mempertahankan diri dan tetap independen di tengah wilayah yang penuh dengan gejolak dan masih tenggelam dalam ancaman pemberontak?
Situasi yang rapuh dan kekerasan yang mudah tersulut menjadi ingatan yang masih tajam dalam benak pada prajurit yang hadir dalam upacara 45 menit tersebut. Turut hadir bersama prajurit yang akan meninggalkan tanah Irak adalah Menteri Pertahanan AS Leon Panetta, Komandan Pasukan AS di Irak Jenderal Lloyd Austin dan Panglima Angkatan Bersenjata Irak Letjen Babaker Zebari.
Pidato yang disampaikan petinggi militer AS banyak menyinggung keberhasilan besar misi mereka di Irak, sama berhasilnya dengan kehilangan diderita. Hampir 4.500 prajurit AS dan 100.000 warga Irak tewas. Belum lagi 32.000 lain prajurit AS dan puluhan ribu warga Irak terluka. Dan yang paling dikritik rakyat AS yang tengah bergulat dengan resesi ekonomi adalah 800 miliar dolar AS yang disedot perang di Irak dari APBN mereka.
Di sisi lain, rakyat Irak terbebas dari tirani Saddam Hussein, untuk beringsut maju menuju demokrasi dan bersumpah untuk menjadi tetangga yang baik bagi tetangga Timur Tengah mereka.
"Sudah pasti harga yang dibayar sangat mahal, dalam darah dan harta milik AS dan juga rakyat Irak. Nyawa mereka tidak akan sia-sia, mereka telah melahirkan Irak yang independen, bebas dan berdaulat," kata Panetta di hadapan kira-kira 200 tentara dan lainnya yang hadir dalam upacara penurunan bendera negara AS sebagai penanda berakhirnya misi militer AS di Irak.
Jenderal Lloyd Austin mengatakan rakyat Irak sekarang memiliki kesempatan yang belum pernah dimiliki sebelumnya untuk hidup di lingkungan yang relatif damai. Tetapi Austin juga menyadari mulai kini akan menjadi perjalanan yang menantang bagi Irak. Untuk itu dia mendesak para pemimpin Irak untuk membuat pilihan yang baik berdasarkan apa yang terbaik bagi rakyatnya.
"Kekerasan dan kesejahteraan tidak bisa hidup berdampingan," kata Austin, yang delapan tahun, delapan bulan dan 26 hari yang lalu memberi perintah bagi pasukan AS untuk melintasi perbatasan memasuki Irak. Dan Kamis kemarin, Austin pula yang memberi perintah untuk menurunkan bendera Pasukan AS-Irak.