REPUBLIKA.CO.ID, KABUL - Alunan nada dinamis terdengar jelas dari sebuah bangunan dua lantai di pusat kota Kabul. Suasana itu boleh dibilang langka, mengingat dalam satu dekade terakhir suasana Afganistan jauh dari aman dan damai.
Suasana demikian mulai terbangun, ketika masyarakat Afganistan terlanjur muak dengan peperangan tanpa henti. Mereka bermimpi untuk menikmati kehidupan yang lebih baik. Harapan itu tidak muluk, sebab mereka hidup dalam suasana perang. Belum lagi kemiskinan yang terjadi, jelas menambah parah situasi.
Karena itu, alunan nada cello dan biola dari akademisi musik tunggal Afganistan menghadirkan suasana dan harapan baru. Mereka yang tengah belajar berupaya untuk membangkitkan kembali Afganistan melalui musik.
"Kami berkomitmen membangun kembali Afganistan dengan musik. Perlu anda ketahui, musik merupakan obat penyembuh yang mujarab," ungkap, Kepala Institut Musik Nasional Afganistan, Azhmad Sarmast, seperti dikutip alarabiya.net, Jumat (13/1).
Institut Musik ini baru berdiri dua tahun lalu. Awalnya, sekolah ini merupakan bagian dari sekolah seni rupa yang ditutup pada 1990-an, tepat saat invasi Uni Soviet. Sempat berniat dibangkitkan kembali, sekolah itu dilarang oleh rezim Taliban selepas Uni Soviet meninggalkan Afganistan.
Sebenarnya, banyak institusi pendidikan musik yang tengah berupaya bangkit kembali. Namun naas, banyak faktor yang menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk bertahan.
Salah seorang guru musik, Mashal Arman, putri dari musisi terkenal Afganistan, Hossein, mengatakan pada dasarnya warga Afganistan memiliki minat dan bakat besar tentang musik. Namun, minat dan bakat itu meluntur seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam negeri. "Soal musik, mereka luar biasa," kata dia.
Untuk sementara, sebagian besar mahasiswa yang ada berasal dari anak jalanan dan yatim piatu. Institut itu juga mendahulukan perempuan untuk ambil bagian. Kedua hal itu dilakukan guna menumbuhkan minat bermusik terlebih dahulu dan berupaya untuk memperjuangkan hak-hak dasar seperti pendidikan.
Semua siswa mendaftar sekolah itu, mendapatkan beasiswa penuh dari dana asing, terutama dari Inggris, Jerman dan Denmark. Nantinya, saat mereka lulus akan memperoleh ijazah musik yang diakui secara internasional.
"Kembalinya musik adalah bagian dari perubahan positif selepas tumbangnya rezim Taliban," ungkap Sarmast, yang sempat mengenyam pendidikan di Moscow dan Australia.
Alat Seadanya
Situasi Afganistan belum sepenuhnya normal. Kelangkaan, merupakan situasi lumrah yang dialami masyarakat Afghanistan. Jadi tak heran, untuk mempelajar musik, para siswa tidak mendapati alat-alat musik standar layaknya sebuah sekolah musik.
Di salah satu ruangan Institut Musik Nasional Afganistan, memiliki ruangan kedap suara dengan kayu. Tampak, Fathimah tengah bermain sitar. Sitarnya pun alakadarnya. "Saya tidak masalah dengan itu. Sebab saya suka bermain musik," kata Fathimah yang mengenakan jilbab.
Irfan Khan, salah satu dari 16 instruktur asing di sekolah itu. Irfan yang berasal dari India tahu betul, keterbatasan yang ada menghambat kemajuan mereka. "Kita harus akui, kebanyakan siswa disini bukan berasal dari kalangan mampu," ujarnya,
Belum lagi, kata Irfan, harga alat musik di Afganistan lebih tinggi dari gaji tahunan rata-rata pekerja. Untuk satu Saksofon dibanderol $600. Sementara gaji tahunan rata-rata pekerja hanya $100.
Sayed Elham misalnya, siswa berusia 13 tahun, ia berkeinginan untuk memiliki keyboard seharga $3.000. Tapi ia sadar, keluarganya tentu tidak akan sanggup membelikannya. "Harapan aku, pemerintah terus berusaha memperbaiki keadaan," katanya.