REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat energi dan ekonomi dari berbagai sumber menilai Indonesia sudah masuk ke dalam proses liberalisasi sektor energi. "Kedaulatan energi kita sudah ada di tangan asing," kata pengamat ekonomi Ikhsan Nurdin Nursi di Jakarta, Kamis (9/2) malam.
Menurut Nursi, 95 persen sektor minyak dan gas bumi (migas) Indonesia dikuasai korporasi asing. Ia menyajikan data Chevron menjadi salah satu penguasa terbesar migas di Indonesia yang mengambil porsi 44 persen.
Berikutnya Total E&P (10 persen), Conoco Phillips (8 persen), Medco Energy (6 persen), China National Offshore Oil Corporation (5 persen), China National Petroleum Corporations (2 persen), British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kodeco Energy masing-masingnya satu persen. Sedangkan Pertamina yang notabene asli Indonesia hanya mendapatkan porsi 16 persen.
Pengamat ekonomi dari Econit Advisory Group Hendri Saparini menilai ada kesalahan dalam paradigma pengelolaan energi di Indonesia. "Energi di Indonesia dijadikan komoditas komersial semata, bukan komoditas strategis," katanya.
Jika sektor energi menjadi komoditas komersial, itu berarti semua orang boleh menguasainya. Undang-Undang Penanaman Modal dan anak peraturannya, kata Hendri, mengatakan sektor migas dapat dikuasai asing 95 persen. Sedangkan sektor tambang 90 persen.
Padahal, jika porsi energi yang begitu besar dititipkan ke perusahaan BUMN yang jelas-jelas milik negara maka BUMN dipastikan mampu mengambil perannya menjadi pilar utama sektor perekonomian. Contoh hal bodoh yang dilakukan pemerintah, kata Hendri, di antaranya memberikan hak pengelolaan migas di Blok Cepu kepada ExxonMobil (perusahaan asal Amerika Serikat). Pertamina, kata Hendri, justru menjadi anak tiri di negerinya sendiri.
Pengamat energi Kurtubi menilai kehancuran kedaulatan energi bersumber dari Undang-Undang Migas yang merugikan negara secara finansial. "Pengelolaan migas di Tanah Air adalah yang terburuk di Asia dan Oceania," kata Kurtubi kepada Republika di Gedung Dewan Perwakilan Daerah Jakarta, Jumat (10/2).
Hasil survei teknologi global menunjukkan dari 143 negara di Asia, pengelolaan migas di Indonesia ada di posisi 113 di Asia. Di Oceania, pengelolaan migas Indonesia bahkan lebih buruk di bawah Timor Leste. Para pengamat ekonomi dan energi meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi dan mengganti UU Migas yang masih berlaku saat ini.