REPUBLIKA.CO.ID, Seorang pakar sejarah pernah berkata, "Sa’id bin Amir adalah orang yang membeli akhirat dengan dunia, dan ia lebih mementingkan Allah dan Rasul-Nya atas selain-Nya."
Sa’id bin Amir Al-Jumahi adalah seorang anak muda, satu di antara ribuan orang yang tertarik untuk pergi menuju daerah Tan’im di luar kota Makkah, dalam rangka menghadiri panggilan pembesar-pembesar Quraisy.
Panggilan ini adalah untuk menyaksikan hukuman mati yang akan ditimpakan kepada Khubaib bin Adiy, salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang diculik oleh mereka.
Kepiawaian dan postur tubuhnya yang gagah membuat Sa'id mendapatkan kedudukan yang lebih daripada orang-orang. Sehingga ia dapat duduk berdampingan dengan pembesar-pembesar Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan orang-orang yang mempunyai wibawa lainnya.
Ketika rombongan yang garang ini datang dengan tawanannya di tempat yang telah disediakan, Sa’id bin Amir berdiri tegak memandangi Khubaib yang sedang diarak menuju kayu penyaliban. Dan ia mendengar suaranya yang teguh dan tenang di antara teriakan wanita-wanita dan anak-anak. Khubaib berkata, “Izinkan aku untuk shalat dua rakaat sebelum pembunuhanku ini, jika kalian berkenan.”
Kemudian Sa'id memandanginya, sedangkan Khubaib menghadap kiblat dan shalat dua rakaat. Alangkah bagusnya dan indahnya shalatnya itu. Kemudian ia melihat Khubaib menghadap pembesar-pembesar kaum dan berkata, “Demi Allah, jika kalian tidak menyangka bahwa aku memperpanjang shalat karena takut mati, tentu aku telah memperbanyak shalat.”
Kemudian ia melihat kaumnya dengan mata kepalanya, memotong-motong Khubaib dalam keadaan hidup.
Kemudian Sa’id bin Amir melihat Khubaib mengarahkan pandangannya ke langit dari atas kayu salib, dan berkata, “Ya Allah ya Tuhan kami, hitunglah mereka dan bunuhlah mereka satu persatu serta janganlah Engkau tinggalkan satu pun dari mereka."
Kemudian Khubaib bin Adiy menghembuskan nafas terakhirnya, dan di badannya tidak terhitung lagi bekas tebasan pedang dan tusukan tombak.
Orang-orang Quraisy kembali ke Makkah, dan mereka telah melupakan kejadian Khubaib dan pembunuhannya karena banyak kejadian-kejadian setelahnya. Namun, Sa’id bin Amir Al-Jumahi tidak bisa menghilangkan bayangan Khubaib dari pandangannya walau sekejap mata.
Ia memimpikannya ketika sedang tidur, dan melihatnya dengan khayalan ketika matanya terbuka. Khubaib senantiasa terbayang di hadapannya sedang melakukan shalat dua rakaat dengan tenang di depan kayu salib. Dan ia mendengar rintihan suaranya di telinganya, ketika Khubaib berdoa untuk kebinasaan orang-orang Quraisy, maka ia takut kalau tersambar petir atau ketiban batu dari langit.
Khubaib telah mengajari Sa’id sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia mengajarinya bahwa hidup yang sesungguhnya adalah akidah dan jihad di Allah hingga akhir hayat. Ia mengajarinya juga bahwa iman yang kokoh akan membuat keajaiban dan kemukjizatan.
Dan Khubaib mengajarinya sesuatu yang lain, bahwa sesungguhnya seorang laki-laki yang dicintai oleh para sahabatnya dengan kecintaan yang sedemikian rupa, tidak lain adalah nabi yang mendapat mandat dari langit.
Semenjak itu, Allah membukakan dada Sa’id bin Amir untuk Islam. Ia lalu berdiri di hadapan orang banyak dan memproklamirkan kebebasannya dari dosa-dosa Quraisy, berhala-berhala dan patung-patung mereka, dan menyatakan ikrarnya terhadap agama Allah.
Sa’id bin Amir berhijrah ke Madinah, dan mengabdikan diri kepada Rasulullah, dan ikut serta dalam Perang Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya. Dan ketika Nabi yang mulia dipanggil menghadap Tuhannya, Sa'id mengabdikan diri dengan pedang terhunus di zaman dua khalifah; Abu Bakar dan Umar.
Ia hidup bagaikan contoh satu-satunya bagi orang Mukmin yang membeli akhirat dengan dunia, dan mementingkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atas segala keinginan hawa nafsu dan syahwat badannya. Kedua khalifah itu telah mengetahui tentang kejujuran dan ketakwaan Sa’id bin Amir. Keduanya mendengar nasihat-nasihatnya dan memerhatikan pendapatnya.
Pada awal kekhilafahan Umar, Sa'id menemuinya dan berkata, “Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu, agar kamu takut kepada Allah dalam urusan manusia. Dan janganlah kamu takut kepada manusia dalam urusan Allah. Dan janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, karena sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah yang sesuai dengan perbuatan."
Maka Umar berkata, "Siapakah yang mampu menjalankan itu, wahai Sa’id?”
Ia menjawab, “Orang laki-laki sepertimu mampu melakukannya, yaitu di antara orang-orang yang Allah serahkan urusan umat Muhammad kepadanya. Dan tidak ada seorang pun perantara antara ia dan Allah.”
Setelah itu Umar mengajak Sa’id untuk membantunya. “Wahai Sa’id, kami menugaskan kau sebagai gubernur Himsh,” kata Umar.
Sa'id menjawab, "Wahai Umar, aku ingatkan dirimu terhadap Allah. Janganlah kau menjerumuskanku ke dalam fitnah."
Maka Umar pun marah dan berkata, "Celaka kalian! Kalian menaruh urusan ini di atas pundakku, lalu kalian berlepas diri dariku. Demi Allah, aku tidak akan melepasmu.”
Kemudian Umar mengangkat Sa'id bin Amir menjadi gubernur di Himsh. “Kami akan memberimu gaji,” kata Umar.
“Untuk apa gaji itu, wahai Amirul Mukminin? Karena pemberian untukku dari Baitul Mal telah melebihi kebutuhanku,” jawab Sa'id. Ia pun berangkat ke Himsh.