REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Greenpeace Indonesia membantah tudingan anggota Komisi III DPR Syarifudin Suding yang menyatakan bahwa Greenpeace tak bersikap soal penyelundupan limbah bahan beracun berbahaya (B3) dari Belanda dan Inggris.
Dalam berita yang dimuat di Republika Online, Selasa (14/2), berjudul "Penyelundupan B3 Ada yang Diuntungkan", Syarifudin Suding menuding Greenpeace memilih tutup mulut dan tidak bereaksi sama sekali terhadap penyelundupan limbah B3 tersebut.''
Menurut Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Hikmat Soeriatanuwijaya, pada 14 Februari 2012, Greenpeace bersama WALHI, dan lembaga-lembaga lain yang tergabung dalam Indonesia Toxic Free Network telah menyelenggarakan konferensi pers dan mengirimkan surat protes kepada pemerintah terkait limbah dari Belanda dan Inggris ini.
''Apalagi pada kenyataannya, aksi Greenpeace pertama kali di Indonesia adalah justru aksi menghadang kapal pengangkut limbah dari Eropa di Jakarta pada 1994. Aksi ini berhasil mencegah limbah itu masuk Indonesia dan akhirnya kembali ke Eropa,'' ujar Hikmat.
Menurut dia, Greenpeace bersama lembaga lainnya mendesak Pemerintah Indonesia untuk mempercepat penyidikan dan segera memulangkan 113 kontainer berisi logam rongsokan yang diduga kuat terkontaminasi limbah bahan beracun dan berbahaya ke negara asal.
Organisasi yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan itu juga membantah adanya bantuan dana dari asing. "Selama 40 tahun berdiri di dunia kami tidak pernah menerima dana, baik dari pemerintah maupun perusahaan manapun," ujarnya saat melakukan kunjungan ke kantor Republika, Rabu (8/2).
Ia menjelaskan, Greenpeace mendapatkan bantuan dana dari individu yang peduli lingkungan. Di Indonesia, jumlahnya mencapai tiga juta orang. Para penyumbang memberikan uangnya paling sedikit Rp 75 ribu dan maksimal satu juta rupiah perbulan.
Pembiayaan tersebut bersifat independen. Artinya, penyumbang dari AS atau Eropa tidak bisa memberikan dananya kepada Greenpeace Asia Tenggara. Begitu juga sebaliknya.
Kegiatan Greenpeace sudah dimulai sejak 1990an. Saat itu, para aktivis menghadang kapal berisi limbah dari Eropa berlabuh di Tanjung Priok. Dalam usahanya memerangi perusahaan yang merusak hutan Indonesia, Greenpeace menyadari mendapatkan berbagai tantangan, termasuk kampanye negatif melalui media.