REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Ribuan massa bentrok dengan kepolisian Mesir, Jumat(23/3) waktu setempat. Bentrokan ini terjadi setelah Asisiasi Sepak Bola Mesir (EFA) memutuskan untuk menjatuhkan hukuman larangan bermain selama dua musim kepada klub Al Masry dan menutup stadion yang digunakan klub tersebut selama tiga tahun.
Keputusan ini sontak membuat para fans geram dan melakukan aksi unjuk rasa. Aaksi berujung kekerasan, massa bentrokan dengan pihak kepolisian sehingga polisi terpaksa melepaskan tembakan gas air mata.
Bentrokan tersebut menyebabkan satu orang remaja tewas dan 68 lainnya terluka akibat tembakan dan gas air mata. Tim medis mengatakan remaja bernama Belal Mamdouh terbunuh setelah sebuah tembakan mengenai punggungnya.
"Para fans kecewa atas hukuman yang diberikan oleh EFA. Mereka merasa masalah utama bukan karena mereka, tetapi para kepolisian dan pihak keamanan yang gagal melakukan tugas," ujar seorang warga Port Said yang menonton aksi protes tersebut, Sameh Abdel-Khaleh, seperti dilansir dari laman NDTV, Ahad (25/3).
Para fans yang melanjutkan aksi protesnya hingga Sabtu (24/3) memblokir para pekerja industri yang akan bekerja di bagian kota yang dikenal sebagai area investor. Area tersebut kebanyakan berisi pabrik. Para demonstran bahkan menyiapkan amunisi lebih baik di aksi hari kedua. Mereka melempar para polisi dengan batu, sementara polisi tetap bertahan dengan gas air mata.
Kerusuhan ini berawal dari pertandingan pada 1 Februari lalu antara klub populer di Cairo, Al Ahly dan Al Masry di Port Said, Cairo. Pertandingan tersebut dimenangkan oleh tuan rumah, 3-1. Fans Al Masry merasa kecewa dengan hasil tersebut, ditambah para fans Al Ahly mengeluarkan kata-kata hina terhadap fans lawan.
Sekitar 73 orang, yang lebih dari 60 orang diantaranya adalah fans Al Masry, tewas. Kerusuhan tersebut merupakan terburuk dalam sejarah sepak bola dunia selama 15 tahun.