Kamis 29 Mar 2012 16:20 WIB

Lebih Banyak Mana: Pendemo, Aparat atau Penontonnya?

Rep: Agung Sasongko/ Red: Didi Purwadi
Massa demonstran dari berbagai elemen mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM pada Rabu (28/3). (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Massa demonstran dari berbagai elemen mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM pada Rabu (28/3). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih banyak mana para demonstran, penonton atau aparat? Pertanyaan mengelitik ini selalu saja terlintas saat terjadi aksi demonstrasi di ibukota, khususnya yang berlangsung di Bundaran HI dan Istana Negara.

Seperti diketahui, semenjak era reformasi tak terhitung jumlah aksi demonstrasi. Dalam sebulan saja, dapat terjadi lebih dari satu aksi demonstrasi. Nah, semenjak itu pula jumlah penonton atau mungkin provokator naik signifikan.

Menjawab pertanyaan tadi, jelas lebih banyak penonton ketimbang aparat atau pendemo. Tidak sulit menghitungnya, kalau pendemo biasanya tampil mencolok. Tampilan mencolok itu terlihat dari atribut yang mereka kenakan. Misalnya saja, para mahasiswa. Mereka dalam beraksi tentu menggunakan jas almamater masing-masing. Nah, kalau aparat, lebih jelas lagi. Jadi, sederhanya bisa terlihat kok mana yang penonton dan tidak.

Entah sejak kapan, menonton aksi demo menjadi semacam hiburan rakyat. Ambil contoh saja, ketika aksi berlangsung di depan Istana Negara, umumnya lapak pendemo berada di lajur jalan raya. Bila dianalogikan dengan stadion, jalan raya itu ya lapangan sepakbola. Sementara, jalur pedestrian itu dikhususkan untuk penonton aksi demo. Sepertiga jalur pedestrian untuk kawasan komersial alias diperuntukan bagi kalangan kaki lima.

Melihat dari deskripsi tersebut, jelas euforianya luar biasa. Setiap teriakan para pendemo ibarat sebuah tim sepakbola tengah merancang serangan guna mencetak gol. Sementara di jalur pedestrian para penonton aksi demo ibarat para penggemarnya. Bedanya mungkin, mereka kalem, tertib dan nyaris tanpa ekspresi.

Dede, penjaga toko elektronik di Mangga dua, misalnya. Ia sengaja datang untuk menyaksikan aksi demonstrasi. Ia penasaran melihat banyaknya aksi di televisi. "Penasaran saja mas, pulang kerja, ya mampir sebentar ke sini," kata dia yang tinggal di kawasan Pecenongan saat berbincang dengan Republika.co.id, Kamis (29/1).

Dede pun masih terlihat mengenakan seragam kerja. Ia mengambil posisi di jalur pedestrian. Duduk sejenak, ia pesan secangkir kopi dan sebatang rokok. Ia seruput kopi sembari asyik menyimak jalannya demo.

Lain lagi dengan cerita Ita, mahasiswa perguruan tinggi swasta yang kebetulan tengah belajar fotografi. Bersama dua temannya, Ita berada di jalur pedestrian. Ia bersiap untuk mengkeker objek yang ditujunya. "Iya mas.. mumpung momentumnya pas," kata dia.

Kembali lagi soal banyaknya penonton aksi demonstrasi, sebenarnya tidak ada masalah apabila jumlah mereka banyak atau sedikit. Namun, perlu jadi perhatian, provokator ini tidak milih-milih orang dalam menghasut. Kalau sudah menghasut, kerusuhan pun bakal tercipta. Bagaimana penonton, ya mereka juga bakal terhasut juga.

Sebab, dalam aksi demo tidak ada wasit sebagai juru pengadil. Dalam demo juga tidak ada istilah kartu kuning atau kartu merah. Jadi, untuk berbicara soal fair play seperti salah kaprah. Karena itu, kuncinya pendemonya tertib, penontonnya tertib dan aparatnya sewajarnya sabar.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement