REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung belum juga melakukan tindakan tegas terhadap eksekusi Gubernur Bengkulu nonaktif, Agusrin M Najamuddin yang telah mangkir dalam dua kali pemanggilan. Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menilai Kejaksaan Agung telah 'menganak-emaskan' politisi dari Partai Demokrat ini.
"Kejaksaan seharusnya abaikan permohonan penundaan eksekusi dari pihak kuasa hukum Agusrin," kata Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho kepada para wartawan di Jakarta, Jumat (6/4).
Emerson menambahkan eksekusi terhadap Agusrin tidak dapat ditunda-tunda lagi ketika proses pemanggilan secara patut, namun telah diabaikan pihak Agusrin. Ia pun meminta agar Kejaksaan Agung melalui tim eksekutor untuk melakukan tindakan upaya paksa dengan menangkap terpidana kasus korupsi itu.
Menurutnya, hal ini penting agar tidak terjadi adanya terpidana koruptor yang melarikan diri ke luar negeri sebelum dilakukan eksekusi. Menurut catatannya, ada sebanyak 25 terpidana koruptor yang melarikan diri sebelum dieksekusi seperti Djoko Tjandra (korupsi Bank Bali) dan Samadikun Hartono (kasus BLBI).
Kejaksaan Agung juga seharusnya mengabaikan surat pengajuan penundaan eksekusi selama 10 hari yang diajukan pihak Agusrin sejak panggilan eksekusi pertama pada 30 Maret 2012 lalu.
Pihak Agusrin mengajukan penundaan eksekusi dengan dalih sedang mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Padahal menurutnya, berdasarkan pasal 268 ayat 1 KUHAP, permintaan PK atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan tersebut.
"Kejaksaan Agung jangan mau berkompromi terhadap koruptor, tangkap Agusrin dan terpidana korupsi lainnya. Tindakan eksekusi secara paksa terhadap koruptor sekaligus menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung serius dalam memerangi korupsi dan tidak berpihak terhadap koruptor," tegasnya.