Kamis 12 Apr 2012 19:24 WIB

UU PKS Halangi Tugas Wartawan

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Chairul Akhmad
Ratusan warga korban konflik masa lalu asal Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Kabupaten Pidie menggelar aksi unjuk rasa di gedung DPR Aceh, Banda Aceh.
Foto: Antara
Ratusan warga korban konflik masa lalu asal Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Kabupaten Pidie menggelar aksi unjuk rasa di gedung DPR Aceh, Banda Aceh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI), Asep Komarudin, mengungkapkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penyelesaian Konflik Sosial (RUU PKS) dapat menimbulkan masalah bagi pekerjaan wartawan.

Menurutnya, pembatasan akses keluar-masuk di wilayah dengan status konflik akan menyulitkan pekerja media dalam meliput berita. "Akan menyulitkan bagi pekerjaan wartawan," ungkap Asep di Kantor Imparsial, Jakarta, Kamis (12/4).

Asep mengatakan, pasal 25 hingga pasal 28 RUU PKS menjelaskan tentang pelarangan masuk daerah status konflik. Bahkan, tidak ada pengecualian bagi pekerja media dan aktivis HAM untuk melakukan pemantauan.

"Seharusnya beleid tersebut memberi hak untuk pers akses ke daerah konflik. Selain demi memenuhi hak informasi terhadap publik, wartawan pun butuh rotasi di daerah konflik sehingga bisa meliput dengan obyektif dan tetap segar," jelasnya.

Selain AJI, Koalisi Masyarakat Sipil menilai sejumlah pasal dalam RUU PKS bertentangan dengan konstitusi. Koalisi yang terdiri atas berbagai LSM ini akan mengujimateri beleid tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Kami akan daftarkan uji materi ke MK setelah pengesahan undang-undang ini," ujar Direktur Program Imparsial, Al-Araf.

Bagi Al-Araf, terdapat tiga alasan mengapa MK harus membatalkan undang-undang itu. Pertama, pembentukan UU PKS cacat hukum. Menurutnya, tata cara pembentukan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12/2011 telah dilanggar dalam penyusunan beleid tersebut. "Pasalnya, pembentukan UU tersebut minim partisipasi publik dan sosialisasi," ujarnya.

Berikutnya, tujuan pembentukan UU ini pun tidak jelas dan tidak kuat. Bahkan, bertentangan dengan UU lain dan konstitusi UUD 1945. Al-Araf menilai alasan DPR mengenai ketiadaan dasar hukum dalam penyelesaian konflik tidak tepat.

Pasalnya, telah ada sejumlah peraturan perundangan yang sesungguhnya dapat dijadikan dasar hukum. "Hal penting yang seharusnya dilakukan adalah upaya implementasi serius dan sungguh-sungguh terhadap penanganan konflik," tegasnya.

Terakhir, lanjut Al-Araf, substansi UU tersebut pun bermasalah. Menurutnya, banyak pasal yang tergolong multitafsir sehingga bisa bermasalah di kemudian hari. Contohnya saja pasal 1 ayat (1) yang mendefinisikan tentang konflik sosial. Definisi tersebut berpotensi membuka ruang terjadinya sekuritisasi terhadap berbagai masalah sosial sehingga menjadi pembenaran akan keterlibatan TNI dan Polri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement