REPUBLIKA.CO.ID, Januari lalu, satu lagi organisasi ulama lahir di Indonesia. Di usianya yang belia, organisasi yang diberi nama Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) itu telah mewacanakan berbagai gerakan perubahan. Sang inisiator, Bachtiar Nasir, Lc. MM. mengatakan, kehadiran MIUMI adalah untuk membantu penyelesaian berbagai persoalan umat.
“Umat Islam di Indonesia belum bersatu,” kata Bachtiar, mengomentari lemahnya kekuatan Islam dalam menangkal relativisme yang semakin meluas. Kepada Republika, ia membagi kegelisahan atas hancurnya struktur sosial Islam di Indonesia sekaligus optimisme untuk memperbaikinya. Berikut petikan wawancaranya dengan reporter Devi A. Oktavika.
Apa yang melatarbelakangi berdirinya MIUMI?
Semua berangkat dari kerinduan kami, kalangan aktivis Islam, untuk bergerak lebih progresif lagi. Kerinduan itu beralasan karena selama ini kita masih bergerak sendiri-sendiri. Kemudian atas izin Allah swt, kami yang berasal dari berbagai latar belakang, dengan kerinduan dan semangat yang sama, bertemu.
Hal lain yang mendorong pendirian MIUMI adalah kompleksitas persoalan umat Islam yang membutuhkan dukungan. Saya yakin sebagian besar ormas dan lembaga Islam yang sudah ada telah sibuk dengan berbagai agenda, sementara problematika umat yang begitu besar menuntut langkah penyelesaian yang proaktif . Karena itulah kami membidik sisi intelektualitas dan keulamaan.
Bagaimana jika kedepannya MIUMI pun akan demikian: sibuk dengan agenda tertentu yang membatasi gerakannya?
Tentu MIUMI juga akan semakin sibuk. Namun setidaknya, keberadaan MIUMI bisa mengurangi beban dan tanggung jawab yang dipikul lembaga-lembaga Islam, terutama MUI. Bedanya, kita adalah pergerakan yang tidak mendapatkan dana khusus dari negara.
Selebihnya, ingin saya tekankan pula bahwa basis pergerakan MIUMI adalah sekumpulan orang yang ingin berbuat dengan apa yang kita miliki. MIUMI adalah semacam forum ukhuwah yang sekaligus bekerja dalam tataran strategis. Dengan demikian, MIUMI tidak punya proyek sendiri seperti lembaga-lembaga yang sudah ada, sehingga tidak tumpang tindih (dengan lembaga-lembaga yang sudah ada itu).
Peran strategis seperti apa yang akan diberikan oleh MIUMI?
Peran strategis kami, sesuai tagline, adalah membangun Indonesa yang lebih beradab. Adab di sini tidak mengarah pada etika dalam bahasa Indonesia, melainkan peradaban atau hadharah dalam pengertian bahasa Arab. Kami di MIUMI akan membangunnya lewat ilmu dan pemikiran yang dibarengi dengan kerja-kerja strategis.
Tentang struktur sosial Islam, kita perlu menyadari bahwa saat ini sendi-sendi sosial Islam berada di ambang kehancuran. Salah satu indikatornya adalah runtuhnya tabiat dasar struktur sosial Islam, yakni perkataan Nabi saw “al-‘ulamaau waratsatu al-anbiyaa’ (ulama adalah pewaris para nabi).
Tabiat dasar tersebut telah dihancurkan sampai puncaknya. Pernyataan bahwa ‘fatwa ulama tidak mengikat’ adalah sebagian dari bukti nyata kehancuran tersebut. Di antara dampak tidak mengikatnya fatwa ulama adalah fenomena lebaran dua kali yang terjadi di negara kita. Fenomena-fenomena semacam ini tidak terjadi di negara lain, hanya di Indonesia.
Melalui pernyataan semacam itu, kita sadari atau tidak, sesungguhnya struktur sosial Islam telah dihancurkan sampai puncaknya. Penghancuran itu, pertama, dilakukan dengan menumbuhkan ketidakpercayaan pada lembaga-lembaga Islam. Kedua, dengan merontokkan kepercayaan umat pada syariat Islam. Dan puncaknya nanti adalah manusia dibuat tidak lagi mempercayai ulama mereka.
Kembali pada peran strategis, MIUMI merealisasikannya melalui tiga langkah atau gerakan, yakni riset, sosialisasi, dan penegakan. Menyikapi kasus penyerangan terhadap pesantren Syi’ah di Madura akhir 2011 lalu misalnya, kami mengadakan riset. Data temuan dari riset tersebut selanjutnya akan kami sosialisasikan pada lembaga-lembaga yang kompeten, juga pada masyarakat jika memang kapasitasnya adalah untuk diketahui secara umum.
Langkah selanjutnya yang tidak kalah penting adalah upaya penegakan. Kekuatannya ada pada fatwa, sehingga fatwa yang telah dikeluarkan harus benar-benar ditegakkan. Coba bayangkan bagaimana jadinya kalau para ulama kita tidak pede, atau bahkan mereka yang berkata, ‘Fatwa ulama kan tidak mengikat. Kalian ikut ya syukur, kalau tidak mau ikut ya sudah.’
Jika kasus terkait ulama dan umat tersebut dianalogikan dengan hubungan dosen dan mahasiswa, apakah kira-kira mahasiswa mau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen ‘tidak pede’ semacam itu? Di sinilah MIUMI akan berperan sekuat tenaga. Melalui arus pemahaman Islam, kami akan membangun peradaban dan kembali menghidupkan ruh akidah Islam di tengah umat.
Berbicara tentang penghancuran struktur sosial Islam, siapa yang menghancurkannya?
Yang pasti adalah iblis dan teman-temannya. Dari kalangan manusia, para penghancur itu termasuk kelompok sekuler, liberal, kaum kafir dan musyrik, dan juga penganut paham-paham turunan mereka seperti materialisme dan feminisme.
Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (UU KKG) adalah satu contoh di mana sebetulnya tengah terjadi gelombang tsunami penghancuran perempuan dan rumah tangga. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana umat Islam concern terhadap hal itu.
Faktanya, setelah coba kita selami, hambatan terbesar justru datang dari umat Islam sendiri, terutama lembaga-lembaga Islam yang besar termasuk organisasi massa dan juga akademik. Sekularisme sudah masuk ke mana-mana, dan relativisme sudah merenggut individu-individu di tingkat pemikiran mereka.
Musuh-musuh Islam memahami bagaimana tradisi Islam dibangun sejak periode Rasulullah saw, sehingga mereka memahami pula bagaimana menghancurkannya. Mereka menyebarkan dan menyuburkan virus relativisme yang memberi ruang dalam pikiran dan hati umat Islam agar meragukan berbagai hal, termasuk perkataan dan fatwa ulama. Nah sayangnya, tidak banyak ulama yang menyadari ancaman ini.
Maka pendirian MIUMI adalah sesuatu yang urgent untuk menjawab semua kondisi tersebut?
Ya. Karena itu kami tidak bisa lagi menundanya, meski pada dasarnya kami hanya bermodalkan semangat. Semangat perjuangan kami itulah yang terwakili oleh kata “muda” dalam nama MIUMI. Bukan usia kami yang muda, melainkan semangat perjuangan kami untuk Islam.
Sejauh ini, alhamdulillah respon dan antusiasme tokoh-tokoh dan para aktivis Islam di Indonesia terhadap MIUMI sangat baik. Antusiasme yang tinggi juga datang dari kalangan mahasiswa, terutama pascasarjana, yang sedang belajar di beberapa negara seperti Arab Saudi, Yordania, dan Jepang. Ke depan, saya juga akan memenuhi undangan dari beberapa negara lainnya.
Ketika muncul kekhawatiran tentang kemungkinan persaingan antara MIUMI dengan lembaga Islam lainnya di masa yang akan datang, apa pendapat Anda?
Sebagaimana saya katakan, MIUMI lahir untuk mendukung lembaga-lembaga Islam yang telah ada dalam menghadapi persoalan umat yang luar biasa besar dan berat. Kami tidak ingin dan tidak akan menjadi organisasi atau lembaga yang konfrontatif. Intinya, MIUMI akan bekerjasama dengan semua pihak, untuk Indonesia yang lebih beradab.
Selain itu, MIUMI berbeda dari lembaga Islam lainnya terutama terkait gerakannya. Kami bergerak membangun umat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pemikiran Islam yang kental, dengan melibatkan tokoh-tokoh yang kompeten di bidangnya.
Mengapa kita mengambil jalur ini? Okelah politik penting, ekonomi pun demikian. Tapi kalau kita melihat teladan Rasulullah saw tentang bagaimana kejayaan Islam dahulu dibangun, kita akan tahu seberapa besar kita akan mampu membangun Islam melalui ilmu pengetahuan. Dahulu, pada masa Rasulullah saw banyak membangun yang namanya madrasah.
Madrasah yang dimaksud bukan sekolah dalam bentuk institusi pendidikan seperti yang kita jumpai sekarang, melainkan semacam gerakan ilmu yang dibangun melalui pengutusan sahabat-sahabat Rasulullah saw. Mereka yang memiliki kompetensi diutus ke tempat-tempat tertentu untuk meneruskan ilmu mereka kepada umat. Jadi ada madrasah Makkah, madinah, Syam, Yaman, Khufah, Basrah, dan lain sebagainya.
Nah, gerakan semacam inilah yang sedang kita coba bangun. Namun demikian, gerakan kami nantinya tidak hanya sebatas pemikiran sehingga kami berjalan di lorong yang sepi. Kita akan juga berperan strategis melalui tiga langkah tadi, yakni riset, sosialisasi, dan upaya-upaya penegakan.
Melihat banyaknya persoalan umat Islam yang tidak terselesaikan di Indonesia, apa sesungguhnya penyebabnya?
Itu karena strategi kerja kita belum rapi. Bahkan kalau boleh saya katakan, kerja umat Islam masih serabutan, kurang bersatu. Lihat saja Pemilu, meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, partai Islam tak pernah menang. Kita belum menyeimbangkan kuantitas dengan kualitas.
Selain itu, sifat fatwa yang tidak mengikat turut menjadi penyebab lambatnya penyelesaian persoalan umat. Kekuatan Islam salah satunya terletak pada kekuatan fatwa. Kita bisa belajar pada Mesir yang selalu bersuara bulat soal fatwa. Bukan karena tanpa perdebatan, melainkan karena para pemimpin dan ulama di sana tidak membawa perdebatan mereka ke hadapan publik.
Sejak kapan ulama Indonesia menempati posisi yang kurang kuat di mata masyarakat?
Sejak ulama menunjukkan inkonsistensi. Dan ketidakkonsistenan itu seringkali terjadi ketika mereka terlibat dalam politik praktis. Politik itu perlu, bahkan harus ada dalam sistem negara. Hanya saja, bagi ulama khususnya, hal itu perlu dibarengi dengan integritas.
Ketika ulama atau tokoh agama yang terlibat dalam politik praktis meninggalkan netralitas dan tidak menjaga citranya, maka pada saat yang sama ia telah menghancurkan kepercayaan publik terhadapnya. Akibatnya, ketika umat tidak lagi nyaman dengan segala hal yang dikaitkan dengan Islam (partai Islam, politisi Islam, dan lain sebagainya) karena ketidakpercayaan tadi, jadilah fatwa tidak mengikat tadi.
Lalu apa bahayanya? Kita bisa belajar dari kasus Bani Israil. Ketika Nabi Musa as diutus untuk menerima perintah Allah di Bukit Tursina. ‘Perjalanan dinas’ Musa as yang seharusnya 30 malam berkembang menjadi 40 malam dikarenakan beliau tidak berpuasa pada hari ke-30 sebagaimana diperintahkan.
Hanya dalam tempo 10 malam, 70 orang sahabat Musa as yang ikut serta dalam perjalanan itu mencaci sang Nabi dan tidak lagi mau mempercayainya, walau di situ ada Nabi Harun as yang menjaganya. Apa bahaya ketidakpercayaan umat kepada nabinya pada saat itu? Jadilah umat Nabi Musa as itu penyembah anak lembu yang terbuat dari emas.
Jadi, mengingatkan kembali pada hadis Rasulullah saw, bahwa ulama adalah pewaris para nabi, kehancuran ulama berarti kehancuran Islam. Islam hancur jika ulama atau kelembagaan ulamanya hancur. Yang menyedihkan, itu sudah terjadi di Indonesia, negara di mana fatwa ulama tidak mengikat. Inilah yang harus kita perbaiki, meski harus dengan terseok-seok.
Apa saran Anda untuk menghentikan kehancuran tersebut?
Saya berharap para ulama tidak bergeser dari dan memegang teguh pesan Rasulullah saw. Mereka adalah pewaris para nabi yang seharusnya membekali diri dengan sifat-sifat serta kualifikasi yang sesuai dengan posisi mulia tersebut.
Adapun bagi ulama yang harus terjun ke dalam politik praktis, saya menyarankan agar mereka memahami dan menerapkan apa yang dinamakan Teologi Kekuasaan. Di sisi lain, umat pun harus memahami konsep keulamaan itu sendiri, berdasarkan firman Allah dalam surah Fathir ayat 28. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.”
Ayat di atas adalah kriteria dari Allah mengenai keulamaan seseorang. Ilmu seorang ulama akan membuatnya takut kepada Allah. Semakin banyak ilmu yang dimilikinya, maka akan semakin besar rasa takutnya. Ikuti mereka (ulama yang sesuai dengan kriteria tersebut), maka kita akan selamat.
BIODATA
Nama: Bachtiar Nasir
TTL: Jakarta, 26 Juni 1967
Pendidikan:
Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo Jawa Timur
Pondok Pesantren Daarul Huffazh, Bone Sulawesi Selatan
Madinah Islamic University, Saudi Arabia
Kiprah dan Kegiatan:
Pimpinan Ar-Rahman Quranic Learning Center (AQL), 2008-sekarang
Pimpinan Pesantren Ar-Rahman Quranic College (AQC), 2009-sekarang
Inisiator pendirian Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)
Organisasi:
Anggota PP MUI (2010-2015)
Anggota PP Muhammadiyah (2010-2015)
Anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat ICMI (2010-2015)
Ketua Aluni Saudi Arabia se-Indonesia
Ketua Alumni Madinah Islamic University se-Indonesia