REPUBLIKA.CO.ID, BONDOWOSO---Mintarti Budi Astuti, ibu kandung Anggi Indah Safitri, tidak mampu menyembunyikan kebanggaan dan rasa gembiranya atas prestasi anaknya yang meraih nilai UN tertinggi tingkat SMP se-Jatim.
"Saya hanya bisa bersyukur atas prestasi Anggi ini. Ternyata jerih payah Anggi, saya dan suami yang mendorong Anggi berprestasi tidak sia-sia," katanya ketika ditemui wartawan.
Anggi Indah Safitri yang tinggal bersama orang tuanya di Desa Nangkaan, Bondowoso, meraih nilai UN 39,80. Untuk pelajaran IPA, Matematika dan Bahasa Indonesia nilainya 10 dan Bahasa Inggris 9,80. Selain Anggi, siswa SMPN 1 Bondowoso Septian Bimantara Putra menduduki peringkat keenam se-Jatim dengan nilai 39,60.
Kata syukur tak putus-putusnya dipanjatkan Astuti karena Anggi sejak bayi lahir dengan tidak normal. Ia lahir prematur dengan ukuran tubuh yang sangat kecil dan berat hanya 1,9 kg. "Dia itu lahir saat usia kandungan saya 6,5 bulan. Makanya kesehatan anak saya saya perhatikan betul. Sejak kecil saya ajari berenang agar perkembangan tubuhnya bisa bagus. Alhamdulillah sekarang sudah besar dan bisa berprestasi di sekolah," kata pegawai RSUD dr Koesnadi Bondowoso itu.
Ditanya mengenai kunci sukses anaknya, Tutik mengemukakan bahwa Anggi memang didorong untuk rajin belajar. Karena itu ia batasi anaknya untuk menonton televisi.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah dukungan doa dari orang tua. Selain rajin shalat malam, Tutik juga selalu berupaya untuk puasa, khususnya saat anak-anaknya menjalani ujian.
"Demikian juga Anggi saya ajak untuk rajin shalat malam dan puasa. Saya belajar dari orang-orang sukses yang ternyata orang tuanya rajin shalat malam dan puasa," ujarnya.
Anggi sendiri mengaku sudah terbiasa dengan didikan ibunya tersebut. Akhirnya kebiasaan belajar menjadi sangat menyenangkan. Namun, apabila belajar sendiri jenuh, ia memilih belajar bersama dengan teman-temannya.
"Saya memiliki keinginan untuk bisa membanggakan orang tua dan sekolah juga. Karena itu dengan pola pendidikan ibu saya yang sering melarang saya melihat televisi, saya biasa saja," kata gadis kelahiran Bondowoso, 16 Februari 1997 itu.
Menurut dia, kunci dari semua itu adalah bagaimana mengelola waktu sehingga ia tidak merasa kehilangan masa remajanya untuk bermain. "Karena itu saat belajar saya tidak merasa menjadi beban berat. Itu semua kan untuk masa depan kita sendiri," katanya.
Ia mengaku juga mengimbangi upaya spiritual yang dilakukan oleh ibunya dengan berpuasa dan shalat malam. Tutik sendiri mengaku tidak bisa hanya menyuruh anaknya berbuat sesuatu tanpa memberi contoh. "Jangan sampai anaknya disuruh belajar, tapi orang tuanya malah menonton televisi," kata Tutik.