REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintahan legal diakui oleh agama dan wajib ditaati oleh segenap warga, selama tidak mengarahkan pada kemaksiatan dan pelanggaran hukum-hukum Allah.
Segala bentuk tindakan yang mengarah pada penggulingan kekuasaan sah tersebut mendapat perhatian serius. Apalagi, bila sikap antirezim yang diakui itu mengarah pada aksi makar atau kudeta.
Dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam dijelaskan, kegiatan menumbangkan rezim dengan kekerasan, dikategorikan sebagai tindakan pidana politik.
Menurut istilah fukaha, tindak pidana tersebut dinamakan dengan baghy, sedangkan penjahat politik dinamakan bughat.
Pidana politik tidak terjadi dalam kondisi dan situasi-situasi biasa meskipun perbuatan itu mengandung unsur tujuan politik.
Sebab, semua tindak pidana yang terjadi dalam kondisi normal, termasuk tindak pidana biasa. Adapun tindak pidana politik, hanya terjadi dalam keadaan luar biasa. Tepatnya, saat terjadi pemberontakan dan perang saudara.
Misalnya, pembunuhan presiden oleh perseorangan atau kelompok karena tujuan politik dalam situasi biasa. Contoh kasus ini terjadi saat pembunuhan Ali bin Abi Thalib oleh Abdurrahman bin Muljam untuk tujuan politik. Pembunuhan itu tidak dianggap sebagai baghy, melainkan tindak pidana pembunuhan biasa.
Karenanya, istilah bughat yaitu kaum yang melakukan pemberontakan terhadap penguasa umum dengan mempunyai alasan tertentu dan mereka mempunyai kekuatan serta persenjataan.
Fukaha lain mengartikan bughat dengan definisi golongan dari umat Islam yang tidak mematuhi penguasa negara tertinggi atau wakilnya yang dipicu oleh salah satu dari dua faktor, yaitu mangkir dari melaksanakan kewajiban dan tidak menaati penguasa.