REPUBLIKA.CO.ID, Dikegorikan baghy bila terpenuhi beberapa syarat, yaitu pertama, memiliki tujuan tertentu. Adakalanya menurunkan kepala negara atau lembaga eksekutif. Kedua, memiliki alasan yang kuat.
Pelaku tindakan pidana politik harus mempunyai alasan-alasan kuat. Mereka juga harus menunjukkan dalil-dalil kebenaran pendirian dan dakwaan, sekalipun statusnya lemah. Bila hal itu tak terpenuhi, seperti ambisi menjatuhkan kepala negara tanpa ada kesalahan, maka bukan termasuk kategori bughat.
Ketiga, bughat disyaratkan harus mempunyai persenjataan dan kekuatan, bukan hanya yang ada pada dirinya, bahkan yang dimiliki pihak lain dan mereka sepaham. Bila mereka tak dipersenjatai, maka tindakan yang dilakukan bukanlah aksi makar. Meskipun mempunyai alasan yang kuat untuk berbeda pendapat dengan penguasa.
Keempat, suasana pemberontakan dan perang. Setelah semua syarat di atas terpenuhi maka ada syarat lain, yaitu aksi kejahatan politik itu harus terjadi dalam suasana pemberontakan atau perang saudara yang dikobarkan untuk maksud-maksud pidana.
Bila syarat ini tak terpenuhi maka tindak pidana di atas tidak dianggap tindak pidana politik, melainkan tindak pidana biasa, yang pada gilirannya, pelaku dihukum dengan hukuman biasa.
Sanksi Bughat
Hukuman bagi para pelaku tindakan pidana politik berbeda-beda. Jenisnya disesuaikan dengan kondisinya antara sebelum, saat berlangsung, dan pasca peperangan. Bila, aksi tersebut terjadi sebelum atau sesudah perang berkecamuk, maka dikategorikan sebagai tindak pidana biasa (jarimah ‘adiyah).
Adapun, jika kejahatan itu berlangsung saat perang terjadi dan saat pemberontakan maka bisa dibagi menjadi dua, yaitu tindak pidana yang diperlukan oleh suasana pemberontakan dan perang seperti melawan aparat pemerintahan dan membunuh mereka, menguasai harta dan kepentingan umum, serta merusak fasilitas umum, maka hukuman setimpal—menurut Islam—ialah darah para pelakunya halal, wajib dibunuh.