REPUBLIKA.CO.ID, Menurut Mazhab Hanbali, penggunaan sutra untuk perabot jenis ini ialah haram. Pendapat ini merujuk pada hadis Hudzaifah bin Yaman. Riwayat itu menyebutkan bahwa selain haram digunakan sebagai pakaian, sutra juga tak boleh digunakan sebagai alas duduk ataupun tidur.
Masih menurut Mazhab Hanbali, hukum ini berlaku bagi pria. Sedangkan pemanfaatan sutra untuk alas duduk dan perabot rumah, khusus bagi perempuan diperbolehkan.
Pendapat yang sama juga berlaku di kalangan Mazhab Syafi’i. Menurut mereka, riwayat Hudzaifah tersebut cukup kuat. Bila sutra haram dikenakan, maka demikian pula dengan hukum menggunakannnya sebagai perabot. Terlebih bila dikenakan untuk aksesoris dan pelengkap rumah. Tindakan ini bisa dianggap sebagai bentuk berlebih-lebihan (israf).
Berbeda dengan kedua mazhab tadi, di kalangan Hanafi, hukum menjadikan sutra sebagai alas diperbolehkan dan tidak makruh. Pandang an ini bersumber langsung dari Abu Hanifah, pencetus mazhab.
Sedangkan menurut kedua gurunya, Abu Yusuf dan Muhammad, hukumnya makruh. Alasannya, baik mengenakan atau menempatkannya sebagai alas, sama-sama masuk dalam hukum memakai.
Pandangan nyaris sama juga diutarakan oleh Al-Malik bin Al-Majisyun. Tokoh bermazhab Maliki itu memberikan dispensasi penggunaan sutra untuk perabotan yang berfungsi sebagai alas. Namun, tetap saja mayoritas Mazhab Maliki tidak memperbolehkannya.
Kasus selanjutnya yang dicermati oleh Zaidan ialah pemanfaatan tirai yang berbahan dasar sutra. Tirai itu, bisa jadi ada yang dipasang di jendela ataupun pintu utama rumah. Menurut Mazhab Hanbali dan Syafi’i penggunaan kain berbahan sutra untuk tirai tidak diperbolehkan.
Sedangkan dalam pandangan Mazhab Hanafi, pemasangan kain sutra sebagai tirai tidak dipersoalkan, alias boleh. Pendapat ini sama persis dengan pendapat Mazhab Maliki. Sementara itu, kedua guru Abu Hanifah, menghukuminya makruh.