REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Perdana Menteri Jordania Fayez Tarawneh pada Ahad mengatakan, sekitar 131.000 warga Suriah memasuki kerajaan Arab itu sejak awal kerusuhan di negara mereka pada 2011 hingga saat ini, kata kantor berita dikelola negara Petra.
"Kita berurusan dengan masalah ini dari aspek kemanusiaan, tetapi pada saat yang sama semua memiliki tanggung jawab untuk melindungi Jordania dari pelanggaran-pelanggaran," kata perdana menteri selama pertemuan dengan wakil dari dewan hak asasi manusia negara itu.
"Masuknya warga Suriah menempatkan tekanan pada sumber daya Jordania yang sudah terbatas," kata Fayez Tarawneh.
Jordania secara tidak resmi membuka sebuah kamp bagi pengungsi Suriah, tapi lembaga-lembaga sosial masyarakat di seluruh kerajaan telah memimpin upaya untuk memberikan warga Suriah dengan layanan akomodasi, makanan dan kesehatan.
Pemerintah Yordania telah berulang kali meminta bantuan dari masyarakat internasional untuk memberikan layanan bagi orang-orang Suriah di Yordania itu.
Sementara itu Sekjen PBB Ban Ki-moon sebelumnya mendesak pengurangan jumlah pengamat militer tak bersenjata di Suriah dan meningkatkan tekanan bagi upaya politik untuk menghentikan konflik.
Ban merekomendasikan dalam sebuah laporan misi Suriah dengan upaya "pengurangan komponen pengamat militer" yang ditempatkan di Damaskus, dari kota regional tempat konflik telah berkembang dalam beberapa pekan terakhir.
Dewan Keamanan, yang terpecah belah, harus membuat keputusan tentang masa depan 300 pengamat militer tak bersenjata dan lebih dari 120 staf sipil di Suriah menjelang 20 Juli.
Ketegangan dalam debat mengenai masa depan Misi Pengawas PBB di Suriah tampaknya akan meningkat seiring dengan seruan-seruan negara Barat untuk sanksi terhadap Presiden Bashar al-Assad walaupun ditentang oleh anggota Dewan Keamanan pemilik hak veto, Rusia dan China.
Sekjen PBB menyatakan kecemasannya pada "situasi konflik yang berbahaya dan kecenderungan menuju ke situasi yang merusak" antara pemerintah dan oposisi.