REPUBLIKA.CO.ID, Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. Ini diduga karena belum adanya kesepakatan tentang kriteria hilal dan metode penentuan itsbat.
Di satu sisi, perbedaan yang muncul adalah bentuk dinamika pemahamaman dan pengambilan hukum (istinbath) yang diperbolehkan dalam agama.
Menyikapi semua itu, diperlukan kearifan dan kebijakan berpikir dan bersikap. Namun di sisi lain, pemandangan tersebut dinilai memunculkan kesan ketidakkompakan umat Islam.
Kondisi ini telah menyita perhatian serius para ulama di Tanah Air. Berbagai upaya juga telah dilakukan dalam rangka menemukan titik temu kesepakatan terkait kriteria hilal dan metode penetapannya.
Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama, misalnya, mencatat berkali-kali menggelar pertemuan untuk menguraikan benang kusut tersebut, tapi belum menemukan titik temu.
Sebelumnya, soal perbedaan penetapan tersebut juga menyedot konsentrasi cendekiawan Muslim Nusantara. Ini terlihat jelas dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada 16 Desember 2003. Dalam pertemuan tersebut, dihasilkan beberapa ketetapan menyikapi berbagai potensi perbedaan penentuan awal bulan.
Mengutip Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam pertemuan itu ditetapkan, agar dapat menutup celah perbedaan dan tidak menimbulkan kebingungan di kalangan umat, seluruh umat Islam wajib mengikuti ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Selama proses penetapannya, Menteri Agama—selaku otoritas pemerintah yang diberi kuasa oleh pemimpin negara—wajib berkonsultasi dengan MUI, ormas-ormas Islam, dan instansi terkait. Metode penetapannya pun diilakukan berdasarkan metode rukyat dan hisab.
Fatwa ini juga membahas tentang kemungkinan persamaan mathla’ (titik terbit) hilal di negara-negara lainnya. Selama memiliki persamaan dengan Indonesia, hasil rukyat tersebut dapat dijadikan pedoman penetapan oleh pemerintah.