REPUBLIKA.CO.ID, Dispensasi diberikan kepada orang-orang tertentu yang berhalangan menjalankan puasa Ramadhan.
Mereka berkewajiban menggantinya pada hari-hari di luar Ramadhan sebelum Bulan Suci itu kembali datang pada tahun berikutnya.
Menurut Prof Abd Al-Karim Az-Zaidan dalam Kitabnya yang berjudul “Al-Mufashal fi Ahkam Al-Mar’at”, para ulama sepakat, qadha atau mengganti puasa pada lain hari hanya berlaku bagi mereka yang berada dalam perjalanan ataupun menderita sakit.
Perempuan haid dan nifas juga mendapatkan kompensasi atas puasa yang ditinggalkan akibat dua perkara tersebut. Tetapi, qadha tidak berlaku bagi mereka yang dengan sengaja membatalkan puasanya, seperti bersenggama bagi suami-istri.
Seusai Ramadhan, Rasulullah SAW menganjur kan untuk berpuasa sunah enam hari Syawal. Ini tertuang dalam hadis riwayat Muslim dan Tirmidzi dari Abu Ayyub Al-Anshari. “Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan enam hari pada Syawal maka itulah puasa seumur hidup.”
Muncul pertanyaan, bolehkah melaksanakan puasa sunah Syawal itu sementara puasa qadha yang wajib belum ia tunaikan? Bagaimana hukumnya menggabungkan kedua puasa tersebut?
Guru Besar Fikih Universitas Qassim Arab Saudi, Khalid bin Abdullah Al-Mushlih mengatakan, lebih baik mendahulukan qadha Ramadhan sebelum berpuasa sunah Syawal. Ia lantas menjelaskan perbedaan di kalangan mazhab fikih seputar hukum mana yang lebih didahulukan antara kedua puasa itu.
Pendapat mayoritas ulama menyatakan, tak jadi soal berpuasa sunah Syawal sebelum membayar puasa Ramadhan. Kendati dalam kubu ini ada yang mengatakan boleh secara mutlak atau boleh dengan disertai makruh.
Mazhab Hanafi mengatakan, qadha puasa tidak mesti dibayar secara langsung seusai Ramadhan. Waktu pelaksanaannya cukup luas. Karena itu, mazhab yang berafiliasi pada Imam Abu Hanifah tersebut membolehkannya mutlak. Ini juga merupakan salah satu riwayat pendapat dari Ahmad.