REPUBLIKA.CO.ID, Sekelompok pedagang menggelar dagangan mereka di jalan, kadang di halaman masjid, ada pula di pelataran perkantoran.
Dan, masih banyak lagi lokasi strategis yang kerap digunakan. Waktu jualan mereka tak lama. Ada yang dalam hitungan jam, hari, hingga pekan.
Tempat berdagang pun tidak selalu permanen. Sekalipun, barang yang diperjualbelikan tetap beragam dengan harga variatif dan kompetitif, bersaing dengan harga yang beredar di pasar atau pertokoan lazimnya. Aktivitas perekonomian ini kerap disebut bazar.
Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, istilah bazar berasal dari bahasa Persia. Kata ini menunjuk pada bentuk-bentuk ekonomi dan arsitektur, dari bazar-bazar tertutup atau kios di gang-gang sampit, pada makna abstrak tentang pasar sebagai sektor ekonomi yang terlibat dalam perdagangan. Terutama, yang tidak berada di bawah kontrol sistem perbankan negara.
Laiknya struktur kegiatan ekonomi, bazar tradisional melibatkan jaringan agen-agen barang, pemborong, pengecer, penjaja keliling, grosir, pedagang mata uang, tengkulak, perajin, dan penjaga toko.
Kata ini juga memiliki makna beragam, dari gaya atau pandangan kelas pedagang besar hingga cara-cara kontrol sosial, sebagiannya berada dalam sistem kredit bazar.
Arena ekonomi, sosial, dan moral yang saling bertautan tersebut dapat dikembangkan dalam beragam cara seiring dengan berubahnya lingkungan sosial dan politik. Banyak bazar tertutup dibangun dengan patronasi raja atau gubernur sehingga pajak atau uang sewa dapat dipungut dengan mudah.
Beberapa bazar tertutup berukuran kecil juga dibangun oleh kelompok-kelompok pedagang. Penyediaan fasilitas dan pembebanan uang sewa kepada para peserta bazar merupakan bentuk ekonomi yang lazim berlaku di los-los toko di sepanjang jalan bulevar. Uang sewa sering disebut dengan wakaf.