REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Badan Informasi Geospasial (dulu Bakorsurtanal) bersama dengan United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) mengumpulkan pakar-pakar geografi dan pemerintah daerah kabupaten/kota di Yogyakarta.
Mereka membahas tentang standarisasi nama-nama pulau, sungai, daerah dan beberapa nama geografis lain di Indonesia. Sedikitnya 60 pakar geografis se-Indonesia dan beberapa pakar dari Malaysia, Brunei Darussalam, Philipina, Oman dan Srilangka hadir dalam event yang digelar 17-21 September 2012 ini. Pertemuan ini merupakan keempat kali sejak diadakan pada 1982 lalu.
Kepala Badan Informasi Geospasial RI Asep Karsidi mengatakan, standarisasi nama-nama pulau dilakukan agar dunia internasional tahu secara pasti. Standarisasi nama ini dilakukan sesuai dengan ketentuan PBB. "Standarisasi ini bukan hanya nama saja tetapi juga letak koordinatnya secara tepat," tandasnya, usai pembukaan pertemuan ahli geospasial di Yogyakarta, Senin (17/9).
Menurutnya, dengan penamaan sesuai standart international itu bisa menunjukkan kedaulatan dan wilayah NKRI. Meski kata dia, sampai saat ini, lanjutnya, di Indonesia terdapat 13.466 pulau yang sudah diberi nama lengkap sesuai standart internasional dengan titik koordinat yang tepat.
"Proses masih terus berlangsung dan sampai kapan tidak bisa ditentukan. Sangat besar kemungkinan pulau kita akan bertambah," tegasnya.
Penamaan sesuai dengan standar international tersebut juga berguna untuk komunikasi dan penyusunan peta.
"Standarisasi ini penting untuk menjaga kedaulan NKRI dan komunikasi International," kata Punto Dewo selaku Deputi Bidang informasi Dasar Badan Informasi Geospasial.
Menurutnya, jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke negara lain karena kurangnya standarisasi nama-nama Pulau di Indonesia.
Mantan kepala UNGEGN Helen Kerfoot menambahkan, pemetaan dan pemberian nama ini bertujuan untuk kepentingan komunikasi internatioal.Namun pemberian nama harus sesuai dengan budaya lokal dan tidak boleh didikte negara lain. "Banyak duplikasi nama dan membuat bingung," kata Helen Kerfoot.