REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Muncul satu lagi pandangan yang mengkritik rencana revisi Undang Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ulhaq menilai rencana itu adalah upaya melumpuhkan lembaga antikorupsi itu.
"Revisi UU KPK sebenarnya upaya sistemik untuk melumpuhkan KPK," kata Fajar saat dihubungi di Jakarta, Jumat (28/9). Upaya pelumpuhan itu, lanjut Fajar, semakin terlihat jelas dari rancangan revisi yang berisi tentang pencabutan hak penyidikan dan penyadapan oleh KPK.
Padahal, hak tersebut merupakan hak yang paling substansial bagi KPK. Peran KPK sebagai lembaga ad hoc juga akan semakin berkurang. "Jika hak-haknya dicabut, KPK hanya akan menjadi 'macan ompong'," katanya.
Rencana revisi UU KPK yang tiba-tiba, menurut Fajar, juga patut dicurigai sebagai upaya untuk meloloskan agenda politik pada Pemilu 2014. Menurut Fajar, agenda politik 2014 membutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit, terutama untuk kas partai politik. Dana tersebut disinyalir banyak didapatkan dari proyek pemerintah yang kerap disalahgunakan oleh oknum legislator.
Upaya pelemahan seperti ini, menurut Fajar, akan membuat KPK harus bekerja lebih keras lagi karena tugasnya tak hanya menyelesaikan kasus korupsi tapi juga menangkis berbagai serangan politik dari oknum lembaga legislatif.
"Ada upaya untuk menciptakan instabilitas KPK dengan cara provokasi melalui rencana revisi undang-undang ini sehingga KPK terpancing dan melupakan tugasnya," kata dia.
Sementara itu dosen komunikasi politik Fisip UI Ari Junaedi menilai usulan revisi justru membuktikan KPK bekerja dengan benar dan mengusik kepentingan oknum-oknum DPR. "Usulan revisi itu bukti nyata KPK telah berhasil mengusik kepentingan oknum DPR," kata dia.
Menurut dia, rencana revisi merupakan akumulasi kekhawatiran oknum legislator yang mulai terganggu dengan kinerja KPK yang kredibilitasnya paling tinggi. "Karena itu, jangan sampai langkah KPK tersendat akibat dilemahkan oleh revisi UU," tambahnya.