REPUBLIKA.CO.ID, Haid bagi perempuan normal secara umum memiliki siklus bulanan. Bila seseorang haid, ia tidak diperbolehkan melakukan ibadah tertentu, seperti shalat, puasa, membaca Alquran, dan tawaf.
Seiring perkembangan dunia kedokteran dan farmasi, para ahli medis menemukan obat yang bisa digunakan untuk mencegah haid.
Penggunaannya oleh Muslimah dengan tujuan optimalisasi ibadah pun mengundang pertanyaan. Bolehkah, misalnya, mengkonsumsi obat tersebut agar bisa puasa penuh dan melakukan manasik secara utuh?
Mayoritas ulama mazhab menyatakan pandangan yang sama, yaitu Muslimah boleh mengkonsumsi obat pencegah haid selama tindakan itu tidak membahayakan kesehatan dirinya. Menurut Mazhab Hanafi, jika ia meminum obat, lalu darah haid tidak keluar maka siklus bulanan tersebut dinyatakan bukan lagi siklus menstruasi.
Misalnya, si A jadwal haidnya jatuh pada pekan ketiga tiap bulan. Bila haid tak kunjung datang maka siklus bulanan itu gugur. Tetapi, jika ternyata pada tempo itu keluar darah maka itu dianggap menstruasi. Meski, sudah meminum pencegah haid.
Mazhab Maliki menambahkan, tidak keluarnya darah pada siklus sebagai dampak obat berarti tidak menggugurkan kewajiban tawaf, shalat lima waktu, atau puasa Ramadhan. Sebaliknya, jika digunakan untuk mempercepat haid maka darah itu dikategorikan menstruasi.
Ini berlaku dalam bidang ibadah, sementara berkenaan dengan idah, darah haid yang keluar akibat obat tidak dijadikan sebagai dasar ketidakhamilan dan habisnya masa idah itu.
Mazhab Syafi’i mengatakan, penggunaan obat untuk mempercepat haid bagi perempuan yang belum balig, lantas darah itu keluar, maka ia telah dianggap balig dan telah wajib melaksanakan perintah syariat.
Sedangkan, mengkonsumsi obat pencegah haid, tidak berdampak pada kewajiban qadha atau mengganti ibadah yang ditinggalkan, puasa Ramadhan, misalnya. Ini berarti, bila obat tersebut efektif menghalangi haid maka ia tetap wajib shalat fardhu dan berpuasa Ramadhan.