REPUBLIKA.CO.ID, CILACAP -- Terpidana kasus narkotika Deni Setia Maharwan mengatakan grasi yang diajukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sesuai dengan prosedur.
"Saya mengajukan grasi sesuai dengan prosedur melalui LP (lembaga pemasyarakatan). Saya tidak memakai pengacara, tetapi melalui LP," kata Deni usai melaksanakan Salat Id di halaman dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jumat (26/10).
Menurut dia, grasi tersebut diajukan karena merupakan haknya sebagai terpidana. "Di dalam undang-undang yang terakhir menyebutkan bahwa terpidana yang belum mengajukan grasi berdasarkan undang-undang yang lama, diharapkan untuk segera mengajukan grasi," kata dia menambahkan.
Oleh karena itu, Deni segera mengajukan grasi dan dikabulkan oleh Presiden SBY sehingga vonis mati yang dia terima diganti dengan hukuman seumur hidup. Menurut dia, vonis mati tersebut dijatuhkan majelis hakim karena terbukti sebagai kurir narkotika jenis heroin seberat 3 kilogram.
"Grasi itu esensinya bukan pertimbangan hukum, melainkan pertimbangan kemanusiaan. Kita tidak perlu lagi melihat masa lalu seseorang karena setiap orang pasti punya masa lalu. Yang penting menurut saya, bagaimana orang itu hari ini dan ke depannya," katanya.
Menurut dia, sebaik-baiknya orang bukan orang yang tidak pernah berbuat salah, melainkan orang yang mau bertobat. Mengenai adanya isu suap vonis mati tersebut diganti menjadi hukuman seumur hidup, dia mengaku tidak melakukan hal itu.
"Saya dari mulai proses (pengajuan grasi, red.) di LP ini, saya tidak mengeluarkan uang sedikit pun. Apalagi kalau saya harus suap Presiden, berapa yang harus saya keluarkan untuk menyuap Presiden. Jadi, ini murni, segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah," katanya.
Ia mengatakan bahwa grasi tersebut ditandatangani Presiden SBY pada tanggal 25 Januari 2012 dan petikannya diterima sekitar awal Februari.
"Soal grasi, insya Allah Bapak Presiden melihat seseorang itu mengakui kesalahannya, kemudian menyesali perbuatannya, dan yang paling penting tidak lagi melakukan perbuatan yang dilakukan dahulu," kata dia menegaskan.
Menurut dia, selama ini ada stigma bahwa para narapidana, terutama hukuman mati, ada yang mengendalikan narkoba dari dalam penjara. "Itu tidak semuanya, hanya segelintir saja. Narapidana-narapidana yang hukuman sementara, hukuman mati, atau seumur hidup, itu banyak yang sudah bertobat," katanya.
Dengan demikian, kata dia, stigma yang selama ini muncul dinilai kurang bagus. Oleh karena itu, lanjut dia, masih banyak narapidana yang bertobat dan layak mendapatkan grasi dari Presiden.
Terkait dengan grasi yang diberikan Presiden SBY untuk Deni Setia Maharwan, Kepala Lapas Batu Hermawan Yunianto mengatakan bahwa hal itu merupakan hak prerogatif Presiden SBY selaku kepala negara, bukan kepala pemerintahan.
"Sepanjang yang bersangkutan mengajukan permohonan dan syarat-syarat yang ditentukan itu telah terpenuhi, kami tinggal meneruskan. Jadi, narapidana yang mengajukan grasi berbeda dengan yang mengajukan upaya hukum," katanya.
Menurut dia, klimaks dari upaya hukum adalah peninjauan kembali (PK), sedangkan grasi bukan merupakan upaya hukum. "Orang yang mengajukan grasi berarti sudah mengaku salah. Kalau orang yang mengajukan PK, mengaku tidak salah," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, orang yang mengajukan grasi sudah sepenuhnya mengaku salah sehingga memohon ampun kepada kepala negara.
"Itu prosesnya. Jadi, beda dengan indikasi (pembayaran/suap, red.) yang belakangan ini muncul. Usulan grasi yang diajukan Deni itu diajukan sebelum saya bertugas di sini," kata dia yang sebelumnya menjabat sebagai Kalapas Narkotika Cirebon.
Setelah menjabat Kalapas Batu, kata dia, pidana yang diterima Deni sudah berubah dari pidana mati menjadi seumur hidup. Sementara itu, pembina kerohanian Islam bagi narapidana se-Nusakambangan dan Cilacap, K.H. Hasan A.
Makarim mengatakan, saat ini, Deni Setia Maharwa aktif dalam kegiatan Pondok Pesantren At Taubah Lapas Batu. "Dia yang membantu saya dalam manajemen pesantren," katanya.