Jumat 02 Nov 2012 14:36 WIB

Mengenal Taqiyah (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Menegakkan kebenaran dan melarang kemungkaran adalah tugas pribadi yang diemban tiap Muslim.

Namun, memang adakalanya mereka tak bisa memungkiri saat berhadapan dengan ketidakadilan yang menyesakkan hingga mengancam nyawa seorang manusia. Kewajiban ini dapat dipenuhi secara rahasia di dalam hati.

Tindakan pencegahan melawan penyiksaan dengan cara menyembunyikan keyakinan dan praktik keagamaan melalui sikap kepura-puraan ini disebut dengan taqiyah.

John Lesposito mengatakan dalam Ensklopedi Oxford Dunia Islam Modern, di kalangan Muslim Syiah semenjak Rasulullah SAW wafat, menganggap diri mereka menjadi sasaran penyiksaan “bau” keagamaan secara terus-menerus oleh mayoritas Sunni dan pemegang kekuasaan politik.

Pengembangan terhadap prinsip ini lebih jauh, mengizinkan mereka tidak hanya melakukan perlawanan pasif atau diam-diam, melainkan— bila dianggap perlu—menyembunyikan secara aktif keyakinan mereka yang sesungguhnya demi melindungi nyawa, harta benda, dan agama mereka.

Praktik pendefinisian taqiyah seperti diambil dari tindakan Ali bin Abi Thalib. Sepupu sekaligus menantu Rasulullah tersebut, di mata kaum Syiah merupakan pewaris tunggal dan terpilih dari Rasul.

Bukannya bersikeras menyatakan haknya yang diberikan oleh Tuhan untuk mewarisi kepimimpinan umat untuk sementara, Ali malah tidak menafikan kekuasaan sejumlah musuhnya dengan maksud melindungi diri dan pada akhirnya untuk mendapatkan ketenteraman.

Ali, ketika itu, menurut kaum Syiah, memilih bersumpah setia kepada para pemimpin palsu yang dikutuk kaum Syiah sebagai kaum bid’ah. Mereka mendasari pembenaran prinsip tersebut dengan sejumlah dalil Alquran. Di antaranya, surah Ali Imran ayat 28.

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.”

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement