Sabtu 08 Dec 2012 19:39 WIB

Keraguan dalam Menyusui (2-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Ibu menyusui (ilustrasi).
Foto: Republika/Musiron
Ibu menyusui (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Sebagian ulama juga menggunakan kaidah fikih yang menyatakan bahwa keyakinan tidak begitu saja bisa dihapus dengan keraguan //al yaqin la yazulu bi asy syakk.

Jika diterapkan dalam kasus ini, maka keyakinan awal ialah ketiadaan radha'ah dan mahram. Sementara, keraguan itu seolah-seolah hendak mengaburkan itu semua. Karena itu, tetap keraguan tidak berimplikasi pada penetapan hukum mahram.      

Di kalangan Mazhab Maliki, keraguan yang mengemuka di tengah-tengah aktivitas radha'ah tetap berdampak pada berlakunya status mahram. Artinya, radha'ah tetap dianggap sah dan tidak terpengaruh oleh sangsi.

Ada beberapa dasar yang dijadikan sebagai landasan pendapat kubu ini. Salah satunya ialah hadis riwayat Bukhari dari Uqbah bin al-Harits. Hadis tersebut mengisahkan, Uqbah menikah dengan putri Abu Ihab bin Aziz.

Lalu, seorang perempuan datang dan mengklaim pernah menyusui kedua pasangan suami-istri tersebut. Karena itu, menurut perempuan yang bersangkutan, keduanya tidak boleh menikah lantaran memiliki hubungan saudara persusuan.

Persoalan ini diajukan kepada Rasulullah SAW. Akhirnya, Nabi memutuskan agar keduanya berpisah. Uqbah pun kemudian menikah dengan perempuan yang lain. Berdasarkan riwayat ini, Mazhab Maliki berkesimpulan, Rasul memutuskan berlakunya status mahram walaupun disertai sangsi.

Mazhab yang berafiliasi ke Imam Malik ini berargumentasi, penetapan status mahram itu juga sejalan dengan prinsip kehati-hatian. Dengan demikian, maka akan meminimalisasi kesalahan fatal akibat ragu dalam aktivitas radha'ah.

Keraguan pada radha'ah

Tidak sebabkan mahram : Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali

Tetap picu mahram: Mazhab Maliki

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement