REPUBLIKA.CO.ID, Sebagian ulama juga menggunakan kaidah fikih yang menyatakan bahwa keyakinan tidak begitu saja bisa dihapus dengan keraguan //al yaqin la yazulu bi asy syakk.
Jika diterapkan dalam kasus ini, maka keyakinan awal ialah ketiadaan radha'ah dan mahram. Sementara, keraguan itu seolah-seolah hendak mengaburkan itu semua. Karena itu, tetap keraguan tidak berimplikasi pada penetapan hukum mahram.
Di kalangan Mazhab Maliki, keraguan yang mengemuka di tengah-tengah aktivitas radha'ah tetap berdampak pada berlakunya status mahram. Artinya, radha'ah tetap dianggap sah dan tidak terpengaruh oleh sangsi.
Ada beberapa dasar yang dijadikan sebagai landasan pendapat kubu ini. Salah satunya ialah hadis riwayat Bukhari dari Uqbah bin al-Harits. Hadis tersebut mengisahkan, Uqbah menikah dengan putri Abu Ihab bin Aziz.
Lalu, seorang perempuan datang dan mengklaim pernah menyusui kedua pasangan suami-istri tersebut. Karena itu, menurut perempuan yang bersangkutan, keduanya tidak boleh menikah lantaran memiliki hubungan saudara persusuan.
Persoalan ini diajukan kepada Rasulullah SAW. Akhirnya, Nabi memutuskan agar keduanya berpisah. Uqbah pun kemudian menikah dengan perempuan yang lain. Berdasarkan riwayat ini, Mazhab Maliki berkesimpulan, Rasul memutuskan berlakunya status mahram walaupun disertai sangsi.
Mazhab yang berafiliasi ke Imam Malik ini berargumentasi, penetapan status mahram itu juga sejalan dengan prinsip kehati-hatian. Dengan demikian, maka akan meminimalisasi kesalahan fatal akibat ragu dalam aktivitas radha'ah.
Keraguan pada radha'ah
Tidak sebabkan mahram : Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali
Tetap picu mahram: Mazhab Maliki