REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pemerintah Prancis akan meneruskan kebijakan yang sebelumnya diberlakukan yakni mengusir ulama atau imam asing yang dianggap menyebarkan kebencian dan rasisme di Eropa.
"Kami akan mengusir imam atau ulama asing yang merendahkan perempuan, yang memiliki pandangan bertentangan dengan nilai-nilai Prancis," tegas Menteri Dalam Negeri Prancis, Manuel Valls dalam konfrensi pers di Brussel, Belgia, seperti dikutip AFP, Rabu (30/1).
Menurut Valls, hukuman deportasi dianggap solusi tegas dan terbaik untuk melindungi sekularisme Prancis.
Valls mengatakan radikalisme dalam kasus tragedi pembunuhan yang melibatkan Muhammad Merah merupakan wujud penempaan kekerasan di lingkungannya. Itu selanjutnya memicu niatan untuk membunuh.
Selanjutnya, Valls menunjuk kelompok Salafi yang dianggap rentan menyebarkan paham kebencian terhadap Prancis. Kelompok ini juga dinilai Vallas dianggap berpengaruh terhadap pergerakan kelompok radikal di Prancis.
"Saya tidak bingung dengan Islam radikal dan Islam Prancis. Di sana banyak kelompok agama, yang bergaya Salafi, mereka mencoba untuk ambil bagian dalam proses politik, yang kemudian berencana mengendalikan lingkungan dan keluarga," kata dia.
Kebijakan ini sebenarnya sudah diterapkan pemerintahan Nicholas Sarkozy. Selama suami Carla Bruni ini memerintah, sejumlah ulama dan imam dari Timur Tengah diusir karena ketahuan menyebarkan pandangan antisemit. Kebijakan itu kian ketat setelah tragedi pembunuhan yang melibatkan imigran Aljazair, Muhammad Merah.