REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mendukung pembahasan Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (RUU Ormas) yang tengah dibahas di DPR. Namun demikian, MPR meminta pemerintah dan DPR untuk tidak buru-buru mengesahkan RUU Ormas.
Kalau ada lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan ormas yang tidak setuju, lebih baik masukannya ditampung sebagai bahan penyempurnaan RUU Ormas.
"Ormas itu kan di Indonesia sangat heterogen, Jumlahnya banyak dengan corak bermacam-macam, karena itu, perlu ada aturannya, rule of the game," kata Wakil Ketua MPR Hajriyanto Thohari di gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Sabtu (30/3).
Dijelaskannya, Indonesia sudah memiliki UU 8/1985 tentang Ormas yang bisa menjadi pedoman LSM/ ormas dalam menjalankan kesehariannya. Namun karena sudah tidak sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat dan keormasan itu sendiri, maka diperlukan aturan baru.
Hal itu perlu dilakukan perubahan aturan agar ruang gerak LSM/ormas bisa sesuai dengan koridor berlaku. "DPR dan pemerintah butuh adanya UU tersebut agar perkembangan dinamika ormas selalu sejalan dengan kehidupan," katanya.
Hajriyanto mengingatkan, karena persoalan ormas begitu besar dann sangat kompleks, DPR dan pemerintah hendaknya jangan berpikir simplisitis dalam pembahasan RUU Ormas.
Sehingga dari perspektif itu, ia mengimbau agar pengesahan RUU Ormas tidak dilakukan secara terburu-buru yang mengesankan dikejar waktu.
Melihat reaksi penolakan yang semakin kencang, khususnya dari Muhammadiyah, ia meminta kritikan itu ditampung DPR selaku pengusul RUU Ormas. Perlu dilakukan dialog publik agar masyarakat bisa memahami bahwa tujuan pembahasan RUU Ormas bertujuan demi kebaikan bersama.
Hanya saja, ia mengakui, aturan khusus soal ormas mutlak diperlukan demi kesinambungan LSM/ormas di Indonesia. "DPR harus kukuh memandang ini penting, dan jangan sekali tergesa-gesa. DPR ini harus sabar dan tekun, dan itu mutlak juga," kata fungsionaris PP Muhammadiyah itu.