REPUBLIKA.CO.ID, ''Hanya sedikit pemimpin dalam sejarah yang boleh disebut telah mengubah arah negaranya secara mendasar. Margaret Thatcher adalah salah satu dari mereka,'' tulis John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam buku mereka ''Megatrends 2000'' yang sangat kondang itu.
Presiden Prancis Jacques Chirac, yang hari-hari ini menghadapi serangkaian pemogokan, tampaknya ingin ''bersanding'' dengan ''ibu rumah tangga'' itu dalam barisan para pemimpin ''prestisius'' tadi. Dan nyatanya, keduanya memiliki banyak kesamaan.
Dengan blak-blakan Thatcher dulu mengutarakan niatnya untuk mengubur sosialisme Inggris. Lantas, dengan ''tangan besinya'' ia berusaha membalik arah negaranya, yang sedang berjalan di atas rel sosialisme tersebut.
Dan ia berhasil. Di antara langkah besarnya adalah melakukan swastanisasi terhadap sejumlah besar BUMN-nya sehingga oleh pengarang buku tadi Inggris disebut sebagai model utama dari perubahan negara kesejahteraan menuju privatisasi yang kini (dan diramalkan bakal) menggejala secara global.
''Apapun penilaian orang terhadapnya, Thatcherisme telah membuka jalan menuju pola manajemen ekonomi yang kini mendominasi negara-negara industrialis maju,'' tulis kantor berita AFP.
Chirac juga menghadapi persoalan yang lahir karena sosialisme. Perencanaan terpusat dan sejumlah besar perusahaan masih dikuasai negara hingga negara menghabiskan lebih separo dari pendapatan nasional. Prancis bahkan adalah negara yang percaya bahwa ia memiliki tanggung jawab untuk menggaji rakyatnya.
Chirac, ataupun PM Alain Juppe, memang tak hendak mengubur sosialisme -- paling tidak, itu tak pernah terlontar dari mulutnya. Namun ia (bersama Juppe), dengan pembaruan kesejahteraan sosialnya yang kini begitu marak diprotes, hendak memperbarui sistem kesejahteraan sosial yang ada di bawahnya. Ini demi memecahkan masalah defisit yang begitu akut
. ''Saya punya keyakinan bahwa pemerintah harus melaksanakan kebijakan ini karena tidak ada pilihan lain,'' tegas Chirac Rabu lalu.
Ah, apa pula ini. ''Tidak ada pilihan lain'' (There is no alternative yang populer dengan singkatannya, TINA) adalah sebuah pekik peperangan yang digemakan Thatcher di seluruh penjuru dunia ketika ia menggelar perombakan ekonomi. ''Kepada mereka yang menunggu dengan nafas tertahan akan sebuah kata-kata yang menarik dan sangat disukai media massa, yaitu U-turn (berbalik arah dari pembaruan yang dicanangkannya, red.), saya hanya punya satu hal untuk dikatakan: 'Silakan berbalik arah bila Anda ingin. Wanita ini (Thatcher, red.) tidak hendak berbalik'.'' kata Thatcher pada Konferensi Partai Konservatif pada 10 Oktober 1980. Sekarang, cobalah simak kata-kata Chirac -- juga Rabu lalu. ''Kami tidak dipilih untuk mengorganisasikan kejatuhan Prancis. Kami harus tetap di jalan kami.'' Rasanya sama bukan?
Chirac merasa perlu mengatakan itu, dua hari menjelang pertemuan puncak Uni Eropa di Madrid, Spanyol. Pasalnya, semua mata para menteri keuangan kini tertuju padanya. Mereka ini menginginkan jaminan bahwa ia akan bertahan dengan pembaruan strukturalnya guna memotong defisit pada sektor-sektor umum.
Chirac pun jadi pusat perhatian para pemimpin Uni Eropa, yang mulai meragukan bahwa Prancis masih memenuhi syarat menjadi pendiri sistem mata uang tunggal Eropa.
Banyak komponen dalam krisis ekonomi dan politik Prancis kini beraroma sama dengan kondisi di Inggris antara 1979 dan 1984. Ekonomi Inggris dibuat terpuruk oleh apa yang disebut ''penyakit Inggris'': pemogokan, dan hak-hak istimewa serikat-serikat buruh, keengganan untuk merombak struktur-struktur warisan sebelum Perang Dunia II, belanja untuk kesejahteraan sosial yang tinggi dan polisi ekonomi yang maju mundur.
Serangkaian pemogokan pada 1979 lagi-lagi membuat ekonomi Inggris mandeg. Ekonomi merosot tajam, pengangguran membubung. Ini pada gilirannya mengharuskan pemerintah mencari pinjaman dalam jumlah besar dan mengeluarkan belanja yang tinggi.
Itulah yang kemudian diusulkan sejumlah 364 ahli ekonomi dalam pernyataan mereka, setelah Thatcher terpilih sebagai PM. Sebaliknya, pihak-pihak dalam lingkaran pemerintah mendesak Thatcher agar menggunakan cara-cara yang lebih lunak. Thatcher tidak memilih keduanya. Meski didera defisit yang membubung sebagai warisan sosialis, Thatcher tidak jadi panik lantas mencari pinjaman sebanyak-banyaknya. Ia mengajukan resepnya sendiri, yang kemudian dikenal sebagai ''Thatcherisme''.
Lebih kurang, kondisi itulah yang dihadapi Chirac ketika ia memegang tampuk kepemimpinan. Jalan yang dipilih Chirac dan Juppe kini memang tidak seradikal Thatcher. Tapi, serangkaian pemogokan yang telah memasuki pekan ketiga itu bisa mendorong ekonomi Prancis ke titik terendah -- seperti yang dialami Inggris dulu. Jadi, akankah ia menjebol struktur ekonomi warisan sebelum Perang Dunia II sampai ke akar-akarnya, seperti yang didesakkan oleh dunia luar di Eropa? Wallahu a'lam.