REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Subarkah/ Wartawan Senior Republika
Sesuatu yang abadi selama dunia belum kiamat, salah satunya adalah kejahatan. Di dalam kitab suci 'tiga agama samawi' misalnya, kejahatan sudah terjadi semenjak manusia pertama Adam Hawa tinggal di bumi setelah terlempar ke luar dari surga. Dua anaknya saling baku bunuh memperebutkan salah satu adik perempuannya. Jadi, memang kejahatan ada semenjak manusia itu ada.
Sebagai bagian dari umat manusia, tentu saja sudah semenjak dahulu kala bangsa-bangsa yang ada menghuni kepulauan nusantara berusaha mengatur hidupnya dengan menetapkan hukuman bagi mereka yang berbuat jahat. Maka, terciptalah hukum adat sebagai bentuk aturan yang tak tertulis untuk mengatur tata hidup dan menjaga keharmonisan kehidupan sosialnya. Para pelaku kejahatan dikenakan berbagai hukum berupa sanksi adat yang lazimnya berupa denda hingga hukuman badan yang bersifat langsung, misalnya, hukuman mati.
******
Namun, karena hukum tidak mengenal peraturan yang statis maka tiap-tiap peraturan hukum adat selalu timbul tenggelam, berkembang, dan selanjutnya lenyap seiring dengan berputarnya zaman. Adanya situsai yang terus berubah inilah, seperti dikatakan pengajar hukum pidana di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr Syaiful Bakhri, maka akan menimbulkan konsekuensi bila berbagai tindakan hukum yang semula merupakan pelanggaran hukum, lambat laun tidak lagi menjadi pelanggaran hukum. Dan ini sesuai dengan 'sifat asli' hukum adat yang terus berubah sesuai dengan situasi pergeseran nuansa rasa keadilan yang berada di dalam masyarakatnya.
Namun, usaha untuk menuliskan hukum pidana pada masa kerajaan di nusantara sebenarnya pun sudah lama dilakukan. Sekitar tahun 1000 M, Raja Darmawangsa di Jawa Timur, memerintahkan penyusunan sebuah Kitab Undang-Undang Hukum Cicawansa. Selanjutnya, pada masa Kerajaan Majapahit, semasa Gajah Mada menjabat sebagai mahapatih (1331-13364), telah membuat sebuah undang-undang yang lazim disebut Kitab Hukum Gajah Mada. Usaha ini dilanjutkan oleh penggantinya, Patih Kanaka dengan merancang hukum Adigama dan Kitab Undang-Undang Hukum Kutaramanawa.
Di kerajaan Banjar juga ada aturan hukum berupa Undang-Undang Sultan Adam (1825-1852), di Kerajaan Bima juga di kenal adanya naskah hukum yang dibuat Sultan Abdul Kadim Zillullahi Fil Alam, di Bali juga ada aturan pidana adat, yakni Logika Sanggraha, Amandel Sanggama, Gamial Gamana, Salah Krama, Derati Krama, dan Wapurusia.
''Di dalam aturan kitab hukum masa kerajaan tersebut, dan juga hukum adat di daerah-daerah lain, terdapat berbagai acuan mengenai bentuk pemidanaan. Misalnya, apabila ada seseorang melarikan gadis, berzina, atau mencuri dan perbuatan itu tertangkap, maka orang yang terkena tindakan tersebut itu, menurut adat, boleh menegakkan hukum. Di Minangkabau di kenal hukum adat tarikh yang mengatur soal pencurian dan perusakan barang, di Bugis dikenal hukum adat Siri terkait soal kasus aib dan pembunuhan,'' tulis Syaiful, dalam bukunya Sejarah Pembaruan KUHP dan KUHP.
*****
Di dalam pelaksanaan hukum adat itu, di banyak kerajaan selama ini juga eksis atau berlaku hukum yang bersumber pada ajaran Islam. Bahkan, dapat dikatakan, pelaksanaan syariat Islam sudah semenjak dahulu berlaku meluas ke seluruh pelosok penjuru wilayah di nusantara. Aturan hukum ini telah membaur dalam lingkup kebudayaan dan adat istiadat masyarakat. Adanya pemberlakuan hukum Islam inipun semasa era kolonial telah diakui pemerintah Hindia Belanda. Para ahli hukum Belanda pada 1855-an, sempat memberlakukanya, meski kemudian sekitar beberapa puluh tahun kemudian (paruh awal abad ke-20), 'politik hukum' ini kemudian dicabutnya kembali.
Sedangkan usaha pengodifikasian hukum pidana di Hindia Belanda sendiri, mulai dipikirkan semenjak negeri Belanda mengesahkan berlakunya Weet Boek van Strafrecht (KUHP Belanda) pada 1886. Imbas dari pemberlakuan kitab hukum pidana ini, para pejabat yang mengurusi Hindia Belanda, kemudian ikut menginginkan agar kitab hukum pindana tersebut juga bisa diberlakukan di wilayahnya. Maka, pada 15 Oktober 1915 lahirlah Wet Boek van Strafrecht vor Nederandsch Indie (KHUP untuk Hindia Belanda), melalui aturan hukum yang tertuang dalam Staatsblad 1915 No 732. Namun, KUHP ini baru dinyatakan mulai berlaku 1 Januari 1918. Dan, KUHP inilah yang terus berlaku sampai sekarang. Di zaman merdeka ini, KUHP tersebut memang ada perubahan, tapi sifatnya sangat 'minimalis' , salah satunya, misalnya, hanya diterjemahkan secara bebas dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia belaka.
''Kami memang betul-betul gembira melihat RUU KUHP akhirnya diajukan ke DPR. Kami harap ini segera bisa disahkan setelah dibahas secara cermat dan hati-hati. Kami ingin KUHP yang nanti disahkan merupakan karya besar bangsa Indonesia,'' kata Wakil Ketua DPr, Priyo Budi Santoso ketika mengomentari pengajuan RUU KUHP.
*****
Terkait keperluan adanya sebuah KUHP yang baru, salah satu hakim agung di Mahkamah Agung, Salman Luthan, menyatakan adanya hukum pidana baru kini sifatnya sudah mendesak. Sebab, selain terdesak kebutuhan akan adanya sebuah 'payung hukum pidana' yang komprhensif, kebutuhan akan KUHP semakin terasa bila melihat banyaknya aturan dan sanksi pidana baru yang belum tertampung dalam 'KUHP lama' peninggalan Belanda itu.
''Sesuai dengan perkembangan zaman memang aturan yang ada di KUHP yang kini berlaku banyak yang ketinggallan zaman. Ini misalnya dengan munculnya berbabagai bentuk kejahatan baru, misalnya kejahatan korporasi. Selain itu, pada masa kini juga sudah muncul pola pemidanaan baru yang sudah berlaku di banyak negara moderen, yakni adanya pidana kerja sosial. Melihat hal seperti itu maka saya kira adanya KUHP baru sudah merupakan kebutuhan yang mendesak direalisasikan,'' katanya.
Pada sisi lain, lanjut Salman, bila mengkaji isi RUU KUHP yang kini diajukan ke DPR, maka secara filosofi terjadi juga perubahan signifikan dalam bidang filosofi pemidanaan. Bila dalam 'KUHP lama' lebih mementingkan azas legalitas hukum dari pada keadilan, maka dalam 'RUU KUHP baru' ini dicoba diubah.
''Dalam RUU KUHP ini tampak jelas bila adanya peurbahan azas legalitas. Yakni, bila terjadi pertentangan antara kepentingan keadilan dan hukum, maka nantinya akan lebih dipentingkan rasa keadilannya. Ini berbeda dengan KUHP yang dulu yang sangat menekankan pada sisi legalitasnya,'' ujar Salman.
Untuk itu, lanjut Salman, bila nanti RUU KUHP ini bisa disahkan, hal itu merupakan sebuah titik perwujudan impian akan adanya kitab hukum pidana yang berciri Indonesia yang selama ini hanya berkelindan dalam benak para ahli hukum pidana di Indonesia.
''Memang, berbagai pakar hukum pidana kita sudah lama berusaha mewujudkannya. Tapi, akibat belum kondusifnya 'situasi politik hukum', maka usaha ini terus tak menampakkan hasilnya. Jadi, bila nanti RUU KUHP itu disahkaan maka itu merupakan sebuah perwujudan dari mimpi yang sudah sangat lama berada dalam benak kita semua!'' tandas Salman Luthan.