REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Agung Sasongko
Usianya tak lagi muda, tapi semangatnya dalam berkarya begitu luar biasa. Begitulah sosok Endang Rachminingsih ketika disambangi ROL di Kediamannya, Komplek DPR 3, Meruya Selatan, Jakarta Barat, Selasa (31/7).
Dahulu, ROL sempat menyambangi beliau ketika mulai merintis sulam. Kala itu, Bu Mimin, demikian sapaan akrabnya, menunjukan tekad kuat menulari bisnis dan ilmu sulam-menyulam kepada siapapun.
Sekian lama berkarya, Bu Mimin memutuskan ingin menikmati peran menjadi seorang nenek dari enam cucu. Tetap saja, selama menikmati waktunya bersama cucu tercinta, Bu Mimin masih sempat berkarya. Enam buah buku menjadi buktinya.
“Buku ini memang saya siapkan untuk itu. Ketika saya menikmati waktu bersama cucu, berbagi ilmu menyulam tidak berhenti begitu saja,” kata perempuan kelahiran Jonggol, Bogor, 1951.
Seolah terpecut, Bu Mimin kembali bersemangat untuk kembali berkarya usai membaca artikel di Republika, lima hari lalu. Artikel itu berisikan seorang pengusaha perempuan mengurusi panti asuhan yang cukup besar.
“Membaca berita itu, lha kok saya jadi terdorong untuk mengajar. Apalagi, panti asuhan itu dekat dengan rumah,” kata dia.
Menurut Bu Mimin, melalui ilmu yang ia tularkan ada harapan anak-anak panti asuhan ini memiliki keterampilan yang akan mempernbaiki nasibnya kelak di masa depan. Harapan yang sama ketika ia memberikan ilmunya kepada para pelajar Sekolah Luar Biasa (SLB) di Meruya dan TKW di Singapura.
Ketika itu, Bu Mimin sempat menetap di Singapura, lantaran almarhum suaminya, Amir Syarifudin, menjadi Kepala Perwakilan Bank Indonesia di Singapura. Ia pun diundang ke sebuah masjid yang bernama masjid Sultan. Rupanya, masjid ini memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para TKW, yang rata-rata berusia muda.
“Waktu itu, saya diundang ibu Dubes untuk menghadiri undangan di masjid Sultan. Lalu, saya bertanya, itu TKW berasal dari mana. Lalu saya tahu bahwa mereka berasal dari Indonesia,” kenang dia,
Tak berlama-lama, ibu Mimin segera menghubungi pihak masjid guna mengutarakan niatnya. Di awal, memang ibu Mimin tidak mendapat restu dari perwakilan pemerintah Indonesia di Singapura. Namun ia tak gentar. “Saya itu dulu heran, mau memberikan ilmu kok ya responnya begitu,” kenang dia.
Akhirnya, usaha Bu Mimin membuahkan hasil. Niat baik Bu Mimin disambut hangat para pengurus Masjid Sultan. Di sana, para TKW mendapat sentuhan kasih sayang dan kelembutan seorang ibu kepada anak-anaknya.
“Kini, karya-karya mereka terpampang di masjid Sultan, apalagi kan masjid ini banyak dikunjungi wisatawan asing. Ya, Alhamdulillah mas,” kata dia,
Sedari awal, Bu Mimin memang memimpikan keterampilan sulam ini bisa menyebar di seluruh Indonesia. Ia percaya sulam memiliki potensi besar dalam memperbaiki nasib masyarakat Indonesia. “Sulam itu tidak membutuhkan seseorang yang pintar, cukup niat dan kreatifitas maka itu akan jadi dengan sendirinya,” kata dia.
Bu Mimin mengungkap di Negara-negara lain seperti Vietnam, China, India dan lainnya, Sulam telah mengubah wajah masyarakatnya. Mereka menjadi dikenal dengan karya sulam-nya yang begitu mendunia. “Mas tahu, kalau ke Tanah Abang, kebanyakan karya sulam itu bukan buatan kita tetapi India, dan Cina tentunya,” kata dia.
Karena itu, Bu Mimin bermimpi memiliki sekolah menyulam. Satu hal yang terus ia perjuangkan hingga kini. Baginya, pendidikan keterampilan di sekolah yang ada belum cukup. Sebab, visi dan misnya berbeda dengan apa yang dibayanginya.
Terakhir, ada pihaknya yang berkeinginan untuk membantunya. Sayang, bantuan itu tak jua datang. “Itu lah, saya sempat tak lagi bersemangat. Ketika membaca artikel di Republika, saya kembali bersemangat,” kata dia.
Dalam pikiran Bu Mimin, bantuan yang diberikan kepada panti asuhan itu bisa meredam rasa asa memiliki sekolah menyulam. Ia bersedia menyiapkan segala sesuatunya seperti waktu dan bahan-bahan yang dibutuhkan guna menularkan ilmu yang ia punya. “Mungkin setiap hari apa, lagian kalau tidak ada saya ada teman-teman yang sudah ahli bisa bergantian, “ kata dia.
Menurut Bu Mimin, inisiatif macam ini di negara-negara lain mendapat perhatian dari pemerintah. Di Vietnam misalnya, pemerintahnya mendukung penuh kegiatan menyulam. Karena itu, Bu Mimin sangat menghargai keberadaan dan dukungan Yayasasn Sulam Indonesia, yang dibina ibu Tresna Jero Wacik.
“Ini memotivasi saya untuk terus berkarya, hidup itukan harus bermanfaat. Ini yang saya lihat bagaimana ibu mendidik saya,” kata dia.
Selalu Berbagi
Bu Mimin, memang dikenal tidak pelit akan ilmu. Ini jelas sikap yang sangat langka. Sebagai seorang Muslim, Bu Mimin percaya bahwa berbagi ilmu itu wajib kendati sedikit. Itu sebabnya, berbagi ilmu sulamnya merupakan bentuk jihad Bu Mimin untuk umat Islam.
Dedikasi ini bermula, ketika suami tercinta meninggal, Bu Mimin termenung. Apa yang ia bawa ketika meninggal nanti. Tidak mungkin apa yang ia bawa berbentuk tabungan, deposito atau rumah. Lalu ia teringat dan terdorong untuk berbagi ilmu. Ilmu yang dimaksud itu adalah sulam.
Sudah banyak orang ia didik. Mulai dari TKW, pelajar Sekolah Luar Biasa (SLB) hingga istri pejabat. Setiap orang yang ingin belajar, ia sambut dengan gembira. Jadi, tak heran apabila Bu Mimin telah menyiapkan orang-orang yang nantinya akan lebih menyebarluaskan sulam.
"Kadang saya merenung, saya enggak mau jadi pahlawan atau ketenaran, tapi seandainya setiap perempuan Indonesia, apalagi istri pejabat yang mapan, bisa berbagi ilmunya apapun itu bentuknya maka akan menjadi luar biasa,” kata dia.
Bu Mimin prihatin sebagian istri pejabat atau petinggi negara, tidak memanfaatkan posisinya guna memberikan manfaat bagi orang lain. Padahal, dengan posisinya itu nyaris tidak ada tantangan atau hambatan yang membuat mereka sulit berbagi. “Yang kita butuhkan untuk ini adalah ketulusan dan keikhlasan. Jadi, rasanya sayang ketika fasilitas dan posisi tidak dimanfaatkan,” kata dia
Bu Mimin membayangkan, betapa besar dampak yang terlihat ketika mereka memberikan sumbangsihnya terhadap sesama. “Pastinya wow bagus sekali mas,” kata dia.
Selama berbagi, Bu Mimin merasakan hal yang luar biasa. Yang Maha Kuasa memberikan balasan tak terhitung kepada kepada Bu Mimin melalui sulamnya. Ia mengaku prinsipnya untuk ikhlas dan kreatif serta tidak pelit berbagi menjadi kunci.
“Jangan segan berbagi ilmu kepada siapapun. Jangan takut tersaingi, rezeki itu telah ditetapkan Yang Maha Kuasa kepada kita semua dengan besaran yang berbeda. Tapi kita sendiri yang menentukan perbedaan itu melalui kerja keras dan amal,” kata dia.
Siapkan Kejutan
Bekerja atas dorongan cinta akan terasa senang dan menghilangkan rasa jemu dan lelah. Cinta Bu Mimin terhadap Sang Pencipta, sesama dan sulam membuatnya tak berhenti berkarya., Ada sejumlah kejutan yang disiapkan Bu Mimin.
Kejutan pertama, Bu Miimin mulai merambah dunia busana. Satu hal yang belum ia lakukan ketika mengenal sumlam 2005 silam. Saat ini, ia telah membuat beberapa desain busana khusus perempuan. Temanya sederhana namun guratan tangan dingin Bu Mimin membuatnya istimewa.
“Kalau membuat busana batik, sudah banyak yang buat. Apalagi baju tipis, sudah banyak lagi,” kata dia.
Karena itulah, ia membuat busana berbahan katun Jepang. Bahan ini dipilih karena lebih nyaman dan sejuk. Modelnya seperti gamis namun dengan lengan yang lebih pendek. Untuk membedakan dengan baju gamis, Bu Mimin menambahkan bordir bunga dan tanaman yang menjadi khas karyanya,.
Soal model, seperti biasa Bu Mimin tidak membuat satu model saja. Itu karena, ia memang bosan kalau melihat model busana yang itu-itu saja. Sebabnya, ia akan membuat lebih banyak model busana. Ini akan membuat consumen memiliki banyak pilihan,
Kejutan lain, Bu Mimim mulai mengeksplorasi warna pada tas krancang buatanya. Dahulu, hanya ada dua warna yakni krem atau coklat. Kedua warna ini coba dipadupadankan. Namun, selera konsumen tentu tidak terbatas dua warna itu. Sebabnya, ia merasa perlu mengikuti selera konsumen.
“Pastinya saya tidak akan memakai warna cerah atau heboh seperti sulaman Hungaria dan Timur Tengah,” kata dia.
Kejutan ketiga, Bu Mimin menyiapkan motif keindonesiaan ditasnya. Saat ini, ia telah membuat motif penari Bali, Yapong dan ondel-ondel. Bu Mimin terinspirasi dari karya penyulam asal Vietnam yang mampu menampilkan identas negaranya dengan sederhana namun mengena.
“Jadi, karya penyulam itu ia tampilkan perempuan Vietnam dari angle belakang, tengah mengenakan topi khasnya dan pakaian Chong Sam. Ini yang kemudian saya coba implmentasikan pada perempuan Indonesia,” kata dia.
Ke depan, Bu Mimin menyiapkan motif penari piring asal Sumatera Barat. “Ya saya maunya, Indonesia ini kan tidak hanya Bali atau Yogyakarta saja, banyak kok yang bisa mencerminkan keindonesiaan kita,” kata dia.
Kejutan terakhir, Bu Mimin berencana membuat buku paduan pernak-pernik anak. Buku ini terinpirasi kehadiran calon cucunya ketujuh. Melalui buku ini, Bu Mimin ingin berbagi ilmu bagaimana membuat pernak-pernik lucu bagi anak ataupun cucu.
“Sudah siap materinya, tinggal beri nama saja,” kata dia soal buku itu.
Belum “Ngonline”
Perkembangan bisnis online begitu pesat. Bu Mimin pun kagum melihat perkembangan itu. Namun, ia belum terpikir untuk merambah dunia itu guna menyebarluaskan karyanya.
“Belum mas, saya saja dikasih ponsel sama anak baca email susah,” kata dia.
Diakuinya, potensi karyanya untuk lebih banyak dikenal sangat besar ketika memanfaatkan medium Online. Tapi yaitu tadi, ia merasa gagap dengan teknologi. Ia pun masih percaya katalog manual masih cukup ampuh menanding katalog digital.
Ia juga masih percaya ampuhnya getok tular soal karya-karyanya ketimbangan menggunggah di layar ponsel atau komputer. “Aduh mas, itu nanti mungkin anak-anak atau cucu-cucu saya,” kata dia.