REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat dari Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Jhon Tubahelan, menilai Mahkamah Konstitusi tidak pantas menangani sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagaimana yang terjadi saat ini.
Menurut dia, MK merupakan lembaga bergengsi yang oleh undang-undang diberikan tugas untuk mengurus dan menguji hal-hal yang lebih penting berkaitan dengan Undang-undang dasar (UUD). Termasuk sejumlah hal yang berkaitan dengan hubungan antarlembaga negara di tingkat pusat.
"Jadi tidaklah pantas lembaga negara yang dibentuk tersebut, mengurus hal-hal yang berkaitan dengan pilkada," kata Jhon di Kupang, Selasa (20/8).
Dia berpendapat, kehadiran MK sebagai sebuah lembaga negara, oleh pemerintah RI dimaksudkan untuk menjadi sebuah lembaga pengawas pelaksanaan konstitusi RI seiring dengan beralihnya sistem ketatanegaraan dari supremasi parlamen menjadi supremasi konstitusi.
Mendasari hal tersebut, maka pemerintah RI membentuk sebuah lembaga negara yang bertugas mengawasi perjalanan ketatanegaraan dalam konteks pelaksanaan konstitusi negara dengan nama MK.
"Jadi jelas tugas dan fungsinya yaitu menjadi pengawal dan pengawas konstitusi negara, bukan sengketa pilkada," ujar Jhon.
Dikatakannya, diperluasnya fungsi dan tugas MK mengadili penyelesaian sengketa pilkada, telah menurunkan derajat dan nilai dasar dari tujuan pembentukan MK tersebut.
Tidak bisa dibayangkan, lanjut Jhon, lembaga negara sekelas MK harus menangani perkara para calon bupati dan wakil bupati, apalagi jika mereka yang sepak terjangnya berasal dari koruptor dan 'track record'-nya tidak baik. "Ini memalukan dan sangat tidak tepat," katanya.
Dikatakannya, dari sejumlah perkara sengketa pilkada yang diselesaikan di MK, ada sebanyak 80 persennya ditolak.
Itu artinya semua perkara yang diajukan bukan merupakan sebuah sengketa yang harus ditangani oleh MK selaku lembaga bergengsi.