REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim MK bukan solusi baik untuk menjaga lembaga peradilan tersebut bebas dari pelanggaran etik para hakimnya.
"Jadi (Pengawasan, red.) Komisi Yudisial itu bukan solusi, karena risalah Undang-Undang Dasar 1945 itu menentukan bahwa kode etik itu tidak ada kaitannya dengan Mahkamah Konstitusi," kata Jimly usai memimpin sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Selasa.
Saat pembentukan Komisi Yudisial, katanya, pengawasan terhadap MK sempat masuk dalam wewenang KY. Namun, hal itu ditolak oleh Komisi III DPR RI saat itu karena tidak sesuai dengan amendemen UUD 1945."Alasannya, Komisi Yudisial itu dari Majelis Kehormatan Mahkamah Agung yang dikeluarkan menjadi Komisi Yudisial namanya," katanya.
Ia mengatakan Komisi Yudisial dibentuk untuk mengawasi perilaku hakim yang diberi tugas melakukan seleksi terhadap hakim agung, sehingga tidak merambah ranah hakim konstitusi.
Dia mengatakan yang paling diperlukan saat ini adalah pengawasan terhadap putusan-putusan MK.
"Jadi maksud pengawasan itu bukan soal etika, melainkan soal putusannya. Cara mengawasi putusan itu bisa dilakukan melalui upaya hukum, sedangkan kalau ada korupsi namanya tindak pidana korupsi," katanya.
Pada kesempatan sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengawasi persyaratan, peraturan, mekanisme, dan seleksi hakim MK.
Hal itu, menyusul penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan dugaan suap dalam penyelesaian sejumlah sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada).
"Saya Presiden berencana mempersiapkan perpu untuk saya ajukan ke DPR RI, yang antara lain akan mengatur persyaratan, aturan, dan mekanisme seleksi dan pemilihan hakim MK. Ini penting," kata Presiden.
Ia menjelaskan sesuai dengan semangat yang ada dalam UUD 1945 maka materi atau substansi perpu itu perlu mendapatkan masukan dari tiga pihak, yaitu Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. "Karena dalam UUD 1945 sebenarnya yang diberikan kewenangan untuk menetapkan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi adalah Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung," katanya.