REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Margarito menolak Perppu No 1/2013 yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Penerbitan perppu ini tidak dibutuhkan," ujar Margarito di Jakarta, Sabtu (19/10).
Ia berpendapat, kehadiran perppu tersebut telah kehilangan momentum dan pijakan sosiologisnya sebagai produk hukum yang lahir saat kondisi genting dan memaksa. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) sampai hari ini ternyata masih berfungsi dengan baik.
"Menurut saya, kondisi baru disebut genting dan memaksa bila orang-orang yang telah mendaftarkan perkaranya ke MK (sebelum penangkapan Akil), tidak mau lagi ikut sidang karena sudah tidak percaya pada hakim-hakim di sana," kata Margarito.
Tapi kenyataannya, tambah dia, mereka yang mengajukan permohonan perkara ke lembaga peradilan tersebut tetap mengkuti persidangan. Bahkan, sejak ditangkapnya Akil Mochtar pada 3 Oktober lalu hingga hari ini, MK telah memutus sebanyak tujuh perkara.
"Ini artinya publik masih percaya pada MK. Mereka jalani sidang. Lalu begitu keluar putusannya, mereka diam," imbunya.
Diakuinya, regulasi yang dapat mendorong perubahan di tubuh MK memang dibutuhkan. Terutama aturan soal pengawasan terhadap kinerja hakim konstitusi. Namun, hal ini sebaiknya diatur dalam bentuk revisi UU MK, bukan perppu.