REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menyatakan, penetapan Perppu Penyelamatan MK (Mahkamah Konstitusi) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhonyono (SBY), 17 Oktober lalu, masih dalam keadaan genting.
“Kegentingan itu dapat dilihat dari hasil survei yang mengungkapkan merosotnya kepercayaan publik terhadap MK, beberapa waktu lalu. Jadi, jangan beranggapan keadaan darurat baru terjadi kalau MK tidak bisa bersidang lagi,” kata Denny di Jakarta, Kamis (24/10).
Ia berpendapat, ada beberapa alasan yang membuat Perppu MK menjadi mendesak. Pertama, sebelum ditangkapnya Akil Mochtar oleh KPK, tidak pernah ada ketua MK ataupun ketua MA (Mahkamah Agung) yang tersangkut kasus suap. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.
“Tidakkah itu genting? Ini tidak hanya bagi MK, tetapi lebih jauh bagi demokrasi di negara hukum Indonesia,” ujarnya. Menurutnya, ditangkapnya Akil oleh KPK tiga pekan lalu tidak bisa dipandang sebagai kejadian biasa, melainkan luar biasa.
Karena itu, peristiwa tersebut perlu direspons dengan cara yang luar biasa pula, yakni dengan menggunakan kewenangan presiden untuk menerbitkan Perppu Penyelamatan MK.
Kedua, pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 tinggal 6 bulan lagi. Sementara, akan ada kebutuhan mendesak untuk mengisi dua posisi hakim konstitusi yang kosong nantinya. Yaitu, posisi Akil—jika diberhentikan tetap—dan Harjono yang masa kerjanya berakhir Maret tahun depan.
Artinya, kata Denny, Perppu MK menjadi penting untuk menjaga legitimasi pemilu yang nilainya sangat strategis. “Memang, kita sudah memiliki Undang-Undang MK, tapi itu belum memadai. Terutama terkait syarat, mekanisme rekrutmen, dan pengawasan hakim-hakim konstitusi. Karena itu, perppu ini genting dan penting!”