Sabtu 02 Nov 2013 21:50 WIB

Menanam Padi di Meratus, Panen Hari Ini untuk Kebutuhan Belasan Tahun Nanti

Duntin, ketua Bale Adat Tamburasak, mengangkut padi dengan lanjung.
Foto: Priyantono Oemar/Republika
Duntin, ketua Bale Adat Tamburasak, mengangkut padi dengan lanjung.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Priyantono Oemar 

Orang Amerika Serikat hanya makan nasi sebanyak 0,9 kg per tahun. Tapi, bukan berarti mereka tak bisa menanam padi. Buktinya, menurut Whole Grains Council, Amerika adalah pengekspor beras keempat, setelah Thailand, Vietnam, dan India.  

Padi di Amerika ditanam di Arkansas, California, Louisiana, Texas, Mississippi, dan Missouri. ‘’Hampir separuh hasil panen padi di Amerika Serikat diekspor ke lebih dari 100 negara,’’ tulis Whole Grains Council.

 

Konsumsi beras di Amerika itu, sangat jauh jumlahnya dibandingkan dengan konsumsi di Asia, yang dikenal negara agraris. Orang Asia mengonsumsi beras rata-rata 135 kg per tahun, kecuali orang Uni Emirat Arab yang konsumsinya mencapai 202,5 kg per tahun.

 

Di dunia ini, lebih satu miliar orang terlibat menanam padi. Indonesia termasuk produsen beras terbesar di dunia. Dengan produksi mencapai 40,29 juta ton pada 2012, menurut laporan Farm and Ranch Guide, Indonesia menempati urutan ketiga setelah Cina (160 juta ton) dan India (115 juta ton).

 

Vietnam sebagai produsen terbesar kelima setelah Bangladesh. Produksi padi Amerika Serikat hanya 6,98 juta ton pada 2012, hanya 1,2 persen darijumlah total produksi beras dunia.

Sedikitnya jumlah negara pengekspor beras menandakan bahwa beras dikonsumsi di daerahtempatberas itu ditanam. Buktinya, menurut Whole Grains Council, 97 persen beras dunia memang dikonsumsi di daerah beras itu ditanam.

 

Suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan adalah contoh produsen beras yang hanya menanam padi untuk dikonsumsi sendiri. Panen padi hanya sekali setahunmereka berpantang menjual padi. 

 

Ruwai, mantan kepala Desa Patikalaen, Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah, menjelaskan mereka pernah mengalami kesulitan akibat menjual padi. Pengalaman kekurangan padi di saat kemarau panjang mendera, membuat mereka kembali ke nasihat leluhur; pantang menjual padi.

 

Dengan begitu, ketika pada 1997 terjadi kemarau panjang lagi, kata Ruwai, “Kami masih mempunyai persediaan padi yang cukup.’’ Begitulah mereka membentengi diri. “Kami ini di gunung, jauh dari mana-mana. Kalau kekurangan beras, hidup kami akan susah,’’ ujar Tetua Adat Dayak Meratus di Kecamatan Hantakan, Galimun. 

Perlu waktu setahun untuk mendapatkan padi di Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan. Oktober-November ini adalah musim tanam. Ada 26 varietas padi yang mereka tanam tanpa perlu membeli bibitnya.

 

Padi yang ditanam itu ada banih ambulung, banih arai, banih banar, banih banyumas, banih banyumbang, banih briwit, banih buyung. Banih arai dan banih buyung, kata Paliansyah –warga Tamburasak, dianggap yang paling bagus berasnya. Banih arai dan banih buyung yang akan dijadikan benih di musim tanam berikutnya, disimpan di tempat khusus di lumbung. 

Ada pula banih harang, banih kalapa, banih kanjangah, banih kihung, banih kunyit, banih patiti, banih putih, banih sabai, banih sabuk, banih salak, banih saluang, banih santan lilin, banih siam unus, banih tampiko, banih uluran, dan banih wayan.

 

Mereka juga menanam padi ketan, yang akan dimasak sebagai lemang di acara-acara tradisi. Ada tiga varietas ketan, yaitu banih kariwaya, banih lakatan, dan banih samad. Padi ketan bahkan menjadi bahan sedekah. Warga yang hadir di acara mahanyari banih akan pulang membawa beras ketan dari keluarga yang mengadakan mahanyari ini.

 

Mahanyari banih adalah upacara usai panen untuk mencicipi beras baru hasil panenan. Mahanyari berasal dari kata hanyar, berarti baru. Banih adalah sebutan padi masyarakat Banjar dan masyarakat Dayak Meratus.

 

Setiap panen, mereka selalu menyisihkan gabah yang akan dijadikan benih musim tanam berikutnya. ‘’Sudah ada turun-temurun kami mendapatkan benihnya,’’ ujar Duntin, kepala Balai Adat Tamburasak, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

 

Mereka menanamnya tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida. ‘’Kami tak pernah merepotkan pemerintah dengan tuntutan penyediaan pupuk,’’ ujar Sukran, warga Paramasan Atas, Kabupaten Banjar.

 

Untuk mengusir hama, mereka akan membakar kulit kayu tambun raya. Asapnya akan mengusir wereng dan belalang. Daun pasak bumi juga biasa dipakai untuk mengusir hama dengan cara dibakar pula.  

Mereka menanam padi di lahan kering. Lahan ditugal oleh laki-lakiperempuan yang diberi kehormatan mengisikan banih ke lubang bekas tugal. “Satu lubang diisi tiga-lima butir banih, biar tumbuhnya baik. Kalau kebanyakan, tumbuhnya jelek,’’ jelas Paliansyah.

Saat tanaman padi mulai mengeluarkan malai, mereka pun mengadakan upacara tradisi tolak bala, berharap agar padi tumbuh subur dengan gabah yang padat berisi. Berharap semua berjalan lancar, tak ada hama, tak ada longsor.

 

Mereka akan membuka huma di sembarang hutan. Bahkan hutan di ketinggian 800 meter dari permukaan laut pun masih dibuka untuk huma. Tak hanya di dataran, tapi juga di lereng bukit. Pohon-pohon dibabat, dan hanya disisakan pohon birik.

 

Pohon ini memiliki akar seperti akar pohon turi; akar berbintik-bintik. Bintik-bintik di akar itu disebut micorhyzayang fungsinya untuk mengikat nitrogen, sehingga bermanfaat bagi kesuburan tanah.

 

Meski tak mengetahui soal ini, mereka tak akan berani menebang pohon birik ini. Mereka percaya pohon ini memberikan kesuburan tanah di sekelilingnya, karena mereka menganggap ini sebagai pohon bidadari. Menurut legenda, pohon ini dipercaya sebagai pijakan pertama para bidadari sebelum akhirnya turun ke sungai untuk mandi.  

Bagi masyarakat Meratus, padi berkaitan dengan kesuburan dan kehidupan, karenanya pihak perempuanlah yang harus menanamnya dan mengawali pemanenan. Bagi mereka, bidadari juga berkaitan dengan kesuburan dan kehidupan.

 

Sebelum tiba musim tanam, mereka akan mengolah huma selama dua-tiga bulan, yaitu Juni-Juli-Agustus. Karena padi adalah sumber kehidupan, maka padi akan diberi kesempatan bahagia, selain ada tanaman bunga di huma untuk menghibur padi, padi juga dijauhkan dari naungan pepohonan.

 

Karena itulah tak ada pohon besar yang ada di huma selain pohon birik. Meski itu di lereng bukit sekalipun. Tentu saja, ketika hujan besar turun, longsor akan menerjang huma dilereng bukit ini. Huma Paliansyah dan huma Sumardi pernah longsor pada Mei 2012, sehingga mereka mengalami gagal panen. Longsor itu datang seminggu sebelum jadwal mereka panen di huma yang kena longsor itu.

 

Maret-April adalah masa mulai panen. Butuh 1-3 bulan untuk memanen karena tak melibatkan banyak orang selain hanya keluarga, sehingga panen baru selesai pada Mei-JuniMaka, biasanya anak-anak yang sekolah akan bolos sekolah untuk membantu panen.

Pada 1980-an, upaya mencegah longsor dilakukan dengan membuat terasering di huma yang berada di lereng bukitSepuluh petani Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat, yang mengajari mereka cara membuat terasering. Petani Pameungpeuk itu didatangkan oleh aktivis sosial Muhammad David. Tapi, ketika harus membuka lahan baru, tak ada lagi yang membuat terasering. 

Huma biasanya hanya ditanami padi untuk satu dua kali, setelah itu buka lahan baru. Saat pertama menanam padi di lahan baru, para petani akan menanam juga bibit karet yang di tahun ketika sudah kelihatan pohonnya. Itulah sebabnya, di tahun ketiga mereka harus membuka lahan lagi. Di Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, para petani lebih memilih menanami huma mereka dengan kayu manis. Karet dan kayu manis inilah sumber uang mereka.

 

Maka, bertahun-tahun ke depan huma itu menjadi kebun karet. “Bisa 25 sampai 30 tahun kemudian baru pindah ke huma semula untuk menanam padi lagi setelah karet ditebang karena sudah tak produktif,’’ ujar Duntin, ketua Balai Adat Tamburasak. 

Lumbung

Gagal panen bukan berarti mereka tak akan makan nasi. Mereka tetap bisa makan nasi lantaran persediaan padi di lumbung lebih dari mencukupi. Sehari-hari mereka akan mengonsumsi beras yang paling lama disimpan di lumbung.

 

Untuk dapat menggilingnya menjadi beras, ada juga yang harus menempuh perjalanan dua hari satu malam untuk membeli solar di ibu kota kecamatan.Warga Dayak Meratus di Kampung Juhu, harus menempuh perjalanan dua hari satu malam itu agar mesin penggiling padi mereka terisi solar. Maka, berpuluh kilo jarak bukan halangan bagi warga Dayak Meratus di Kalimantan Selatan.

 

Untuk mendatangkan padi dari huma ke lumbung, mereka pun harus menempuh perjalanan yang panjang. Dengan lanjung (bakul) besar mereka mengangkut padi dengan berjalan kaki. “Beratnya 40 kilogram sampai 50 kilogram,’’ ungkap Duntin, kepala Balai Adat Tamburasak, setelah menurunkan lanjungnya di lumbung. 

Duntin dan juga masyarakat Dayak Meratus lainnya mengangkut lanjung itu seorang diri. Mereka mengangkut lanjung dengan cara menggendongnya di punggung. Isi lanjung sesuaikemampuan masing-masing. Yang perempuan, biasanya menggunakan bakul ukuran sedang. Kalaupun membawa lanjung, hanya diisi setengahnya.

Satu hektare huma yang membutuhkan benih lima-enam blek (satu blek setara empat gantang, satu gantang setara lima liter), menurut Duntin, bisa menghasilkan 800- 1.000 gantang padi. Di lumbung, biasanya disediakan beberapa lulung—wadah setinggi sekitar 115 cm dengan diameter sekitar 1,5-2,5 meter terbuat dari kulit kayu damar. Di lulung itulah padi simpan. Menurut Duntin, satu lulung bisa menampung 600 gantang (3.000 liter) gabah kering. Jauh lebih dari cukup untuk kebutuhan selama setahun. 

Ruwai, mantan kepala Desa Patikalaen Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah, mengaku, dengan enam anggota keluarga dan tamu-tamu yang sering datang di rumahnya, sebulan ia menghabiskan 50 kg beras. Panen setahun tak habis buat makan. “Padi hasil panenan tahun 2000 pun masih ada,’’ ungkap Ruai tentang isi lumbungnya. 

Lulung yang terbuat dari kulit kayu damar, menurut Hadri, warga Tamburasak, membuat suhu udara yang menerpa gabah tetap stabil pada siang dan malam. Hal itu membuat gabah yang disimpan di lulung bisa bertahan lama. 

Garam yang ditaburkan di atas gabah, menurut tokoh adat Haratai, Kecataman Loksado, Hulu Sungai Selatan, Imis, juga membuat gabah tahan lama. Di acara aruh babuat banih, yaitu upacara tradisi memindahkan gabah kering ke dalam lulung, selalu ada penaburan garam ke atas gabah. Menurut Imis, gabah bisa bertahan hingga 10 tahun. 

Warga Dayak Meratus memilih menyimpan gabah daripada menjualnya. Ruwai dan Imis sama-sama menjelaskan mereka pernah mengalami kesulitan akibat menjual padi. Pengalaman kekurangan padi di saat kemarau panjang mendera, membuat mereka kembali ke nasihat leluhur; pantang menjual padi. Dengan begitu, kata Ruwai, “Ketika kemarau panjang tahun 1997, kami masih mempunyai persediaan padi yang cukup.’’ 

Karenanya, gabah hasil panen delapan sampai belasan tahun lalu pun, masih ada yang menyimpannya. “Banih-nya masih bagus,’’ ujar Hadri tentang padi yang telah ia simpan selama delapan tahun. Banih adalah nama yang dipakai masyarakat Dayak Meratus un tuk menyebut padi. 

Tapi kenyataannya, gabah-gabah lama itu pecah berasnya ketika digiling. Nasinya pun menjadikuning, tidak seperti nasi dari padi hasil panenan terbaru, yang putih dan pulen. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement