REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Yasser Arafat bukan meninggal karena diracuni. Begitu kesimpulan para pakar forensik Prancis menanggapi satu laporan Swiss tentang kematian pemimpin Palestina itu pada 2004 lalu.
Kesimpulan para pakar forensik Prancis itu ditentang oleh janda Arafat, Suha, yang telah menyatakan kematian itu merupakan pembunuhan politik oleh seseorang yang dekat dengan suaminya. Seorang pejabat politik Palestina mengatakan laporan itu dipolitisasi.
"Anda dapat bayangkan betapa saya terguncang oleh kontradiksi antara penemuan-penemuan para pakar terbaik di Eropa atas hal ini," kata Suha, yang mengenakan busana hitam dalam jumpa pers di Paris, Selasa (3/12).
"Saya tak menuding siapapun. Ini berada di tangan keadilan dan ini hanyalah permulaan," Suha menambahkan seraya meminta laporan Swiss itu diserahkan kepada peradilan Prancis.
Secara terpisah, jaksa penuntut dari Prancis yang turut menangani kasus itu membenarkan penyelidikan akan dilanjutkan.
Arafat meninggal dalam usia 75 tahun di satu rumah sakit Prancis pada November 2004. Kematiannya terjadi empat pekan setelah ia jatuh sakit setelah makan, lalu muntah dan sakit perut.
Penyebab kematian yang diumumkan secara resmi ialah stroke tetapi para dokter Prancis mengatakan pada waktu itu mereka tak dapat menentukan apa penyakit yang diderita sesungguhnya. Jasadnya tak diotopsi.
Pakar forensik Swiss menimbulkan kontroversi bulan lalu dengan mengumumkan hasil dari pengetesan atas sampel yang mereka ambil dari jasad Arafat konsisten dengan peracunan polonium, sementara tidak ada bukti absolut tentang penyebab kematian.
Laporan itu yang diserahkan ke Suha tidak akan dipublikasikan tetapi kantor penuntut umum Prancis menyatakan laporan tersebut menyimpulkan: "Secara ringkas, kematian bukan dengan meracuni Polonium 210. Pemeriksaan Polonium 210 dan zat-zat radioaktif lainnya yang diambil dari sampel jasad itu konsisten dengan keaslian lingkungan alam."