REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Langkah deradikalisasi teroris di Indonesia dinilai belum menemui kefektifan. Para teroris yang kini tengah mendekam di penjara ternyata masih menyimpan hasrat untuk menebar teror di tanah air. K
Kondisi itu paling tidak terlihat di Komplek Penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Barat. Sejumlah napi teroris yang dikurung masih menganut islam dengan konsep kekerasan radikal.
Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar melihat penanggulangan terorisme oleh Polri setelah mereka ditangkapi belum jitu. Dia memandang, Polri seharusnya dapat membuat konsep deradikalisasi yang matang sehingga tidak membiarkan par teroris larut dalam pikiran radikalisasinya.
Mantan anggota Korps Bhayangkara ini mengatakan, langkah pertama yang dapat Polri lakukan ialah memilah antara teroris dari jaringan lokal dan kelompok luar negeri yang diduga berafiliasi dengan kelompok mujahidin radikal internasioanal.
Ia melihat ada kadar radikalisme sangat kental dari para teroris yang sudah pernah bersentuhan langsung dengan jaringan internasional. Pemisahan itu agar tidak membuat kelompok lokal terjerumus lebih dalam ke jurang radikalisme islam.
“Dengan ini konsep penanganan dan pendekatan pun berbeda, pendekatan yang diberikan pun tentu dapat lebih efektif,” ujarnya dihubungi Republika Ahad (15/12).
Bambang juga mengomentari aksi Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri yang dinilai kurang melihat batas hukum dalam menangani teroris di lapangan. Contohnya seperti eksekusi mati di tempat para teroris yang masih berstatus terduga.
Wajar menurutnya kemudian muncul kebencian mendalam dari para teroris yang mendengar kawan-kawannya dihabisi. Imbasnya, bukannya radikalisme mereka terhapuskan, malah rasa ingin membalas dendam yang tumbuh membara.
Tak heran, semangat mereka untuk meneror negara ini tidak pernah pupus meski sudah merasakan penjara.